REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang tayangan yang mengampanyekan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) hadir di layar kaca. Tayangan LGBT dianggap melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI tahun 2012.
KPI sangat mengapresiasi kebijakan dari salah satu stasiun televisi yang memutuskan tidak memberikan ruang sama sekali bagi promosi LGBT. Pernyataan sampaikan dalam acara diskusi terbatas tentang penyimpangan orientasi seksual di kantor KPI Pusat dengan pembicara Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Komisioner KPI Pusat Agatha Lily, dan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am.
Wakil Ketua KPI, Idy Muzayyad menjelaskan, larangan tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap anak dan remaja yang rentan menduplikasi perilaku menyimpang LGBT. Karenanya, baik televisi maupun radio, tidak boleh memberikan ruang yang dapat menjadikan perilaku LGBT itu dianggap sebagai hal yang lumrah.
“Aturan dalam P3 & SPS itu sudah jelas, baik tentang penghormatan terhadap nilai dan norma kesusilaan dan kesopanan, ataupun tentang perlindungan anak dan remaja yang melarang adanya muatan yang mendorong anak dan remaja belajar tentang perilaku tidak pantas dan/atau membenarkan perilaku tersebut,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa dalam Undang-undang penyiaran juga menegaskan bagaimana tujuan penyelenggaraan penyiaran. Salah satunya untuk terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa. (Skenario Pergerakan LGBT agar Diterima di Asia).
Psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly Risman yang juga hadir mengingatkan lembaga penyiaran tentang hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan sebagai kampanye LGBT.
KPI berharap meskipun regulasi sudah jelas memberikan pembatasan dan larangan, hati nurani pelaku industri penyiaran harus ikut digunakan. Ke depan, ujar Idy, bila diperlukan akan dibuat batasan yang lebih rinci lagi di P3 & SPS. "Agar TV dan radio tidak salah dalam penayangan program terkait LGBT," katanya.
Sikap KPI ini, kata dia, sejalan dengan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah yang menolak promosi dan legalisasi terhadap LGBT.