REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menilai, pelaku penyuka sesama jenis harus menyadari aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam beleid tersebut, perkawinan hanya sah apabila kedua mempelai berlainan jenis kelamin. Selama ini, kampanye LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) menuntut agar perkawinan sesama jenis dilegalkan.
"Sementara UU ini ditetapkan perkawinan hanya untuk (antara) laki-laki dan perempuan. Maka kita mesti pada Undang-Undang itu," ujar Menteri Yohana saat peluncuran kampanye Gerakan Nasional Anti-kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di Senayan, Jakarta, Ahad (14/2).
Namun, profesor pada Universitas Cendrawasih ini melanjutkan, pemerintah perlu membuka isu LGBT agar dinilai penalaran publik secara luas.
Menteri Yohana menuturkan, pengubahan atas UU Perkawinan bisa saja terjadi bila mayoritas masyarakat Indonesia setuju. Namun, bila penolakan tetap datang dari mayoritas kelompok agama-agama dan sipil di Indonesia, dia menyarankan agar wacana tersebut dihentikan.
"Karena kalau kita memutuskan sesuatu yang tidak diinginkan masyarakat, maka kita namanya menggali lubang untuk langsung masuk ke lubang itu sendiri," ucap dia.
Meski demikian, Menteri Yohana menegaskan, hak-hak pelaku LGBT sebagai warga negara harus tetap dilindungi. Termasuk di dalamnya hak untuk memperoleh kesembuhan agar tak lagi berperilaku menyimpang. Dia mengecam diskriminasi terhadap pelaku LGBT.