REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Julius Ibrani, menilai wacana perubahan UU Perkawinan belum perlu dilakukan jika menyangkut kepentingan perkawinan sesama jenis. Saat ini ada dua persoalan mendasar terkait perkawinan yang lebih mendesak untuk didahulukan pembahasannya.
"Mengapa belum mendesak? Pertama, ada dua persoalan terkait perkawinan yang mestinya diprioritaskan dulu. Kedua, negara kita belum punya batasan berdasarkan temuan konkret mengenai kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender)," kata Julius ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Ahad (14/2).
Dua persoalan yang dimaksud Julius adalah perlindungan terhadap perempuan dan program registrasi pernikahan yang masih dianggap diskriminatif. Semestinya, lanjut dia, negara lebih dulu menuntaskan pembahasan dua hal tersebut. (Terima Dana LGBT UNDP, Pemerintah Dianggap Abai).
"Bahas saja dulu keperluan fundamental bagi masyarakat. Jika sudah, baru melangkah kepada isu lain," kata Julius.
Soal Disinggung peraturan hukum untuk kaum LGBT, Julius menyarankan negara telebih dulu mengkaji dari berbagai aspek. Menurut dia, definisi mengenai kaum LGBT saat ini belum sepenuhnya memiliki batasan tegas.
Saat ini, definisi yang digunakan masih diturunkan dari pasal 28 UU HAM yang kemudian diturunkan dalam peraturan sipil dan politik. "Jika memang mau bahas status hukum bagi mereka, harus dikaji dulu baik dari aspek sosial, agama, kesehatan, dan beberapa hal lain," kata Julius.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohanna Yambise mengatakan, perubahan atas UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bisa saja terjadi bila mayoritas masyarakat Indonesia menyetujui. Namun, jika ada penolakan dari mayoritas kelompok agama dan masyarakat sipil, dia menyarankan agar wacana tersebut dihentikan.