REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam tindakan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (Untag).
Hal ini dikarenakan pihak Untag dinilai telah melawan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 307/K/TUN/2015 tertanggal 10 Agustus 2015.
Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa menerangkan, putusan MA tersebut merupakan penolakan permohonan kasasi dari Rektor Untag. Atas putusan tersebut, pihak Untag sebenarnya harus mencabut kembali Surat Keputusan (SK) Drop Out dan skorsing kepada mahasiswanya.
"Putusan tersebut harus dijalankan dan sekaligus merupakan bukti bahwa Rektor Untag Jakarta telah melakukan pelanggaran terhadap kemerdekaan menyampaikan pendapat, juga kemerdekaan berorganisasi dan berkelompok," kata Alghiffari.
Pengacara Publik LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora menerangkan, pihaknya sebenarnya sudah mengundang Rektor Untag setelah putusan MA memenangkan para mahasiswa.
LBH sudah mengundang Untag tiga kali, yakni pada 21 Desember 2015, 5 Januari 2016 dan 16 Januari 2016. Undangan ini hanya bertujuan untuk membicarakan hasil putusan MA dan nasib para mahasiswa Untag yang diskorsing dan dikeluarkan.
Sebelumnya, Untag Jakarta telah memberikan hukuman skorsing kepada enam mahasiswanya dan dua dikeluarkan pada 3 Februari 2014. Tindakan ini dilakukan Untag karena mereka telah melakukan aksi damai dalam menuntut pengaktifan kembali organisasi kampus yang dibekukan dan pungutan yang memberatkan mahasiswa.
Menurut Nelson, keputusan yang diambil Rektor Untag Jakarta tidak memiliki dasar yang kuat. Pada aturan pastinya, pihak Untag hanya boleh menskorsing mahasiswanya maksimal dua semester. Sementara keenam mahasiswa tersebut harus mengalami empat semester hingga enam semester. Dua mahasiswa selanjutnya malah dikeluarkan hanya karena aksi demo yang tidak membuat kerusuhan tersebut.
"Rektor jangan seenaknya, kan ada aturan! Kita sudah menang di tiga tingkatan hingga MA malah di PK (Peninjauan Kembali). Bikin PK ini cuma buat mengulur-ulur waktu supaya kita menderita," ucap Nelson kepada wartawan di Gedung D Dikti, Senayan, Jakarta, Senin (15/2).
Nelson juga menceritakan nasib salah satu mahasiswa Untag yang dikeluarkan, Zainudin Alamon. Setelah orangtuanya mengetahui pengeluaran tersebut, keluarganya tidak lagi mengirimkan biaya.
"Dia sudah kayak jadi nelayan kerjaanya sekarang," terang Nelson.
Sementara nasib mahasiswa yang diskorsing juga tidak jelas. Mereka yang seharusnya sudah masuk malah ragu karena dipersulit oleh kampus. Untuk itu, LBH pun mengadukan persoalan ini kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk bisa ditindaklanjuti.