REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, yang membuat DPD seolah-olah terpinggirkan adalah karena memang ketidakjelasan dari sistem ketatanegaraan Indonesia. Akibatnya, ada wacana bahwa DPD lebih baik dibubarkan saja kalau perannya tidak diperkuat.
Menurut Fadli, DPD merupakan hasill dari amandemen konstitusi ke-4 dari tahun 1999 sampai 2002. Sehingga, untuk melakukan perubahan terhadap DPD, apakah diihilangkan atau diperkuat, harus melalui proses sidang istimewa yang tidak mudah.
Kedudukan DPD juga mesti dikelaskan dalam sistem ketatanegaraan, apakah Indonesia menganut Bikameral atau unikameral. ''Kalau Bikameral berarti posisi DPD harus diperkuat. Kalau Unikameral berarti DPD itu hanya menjadi regional representative atau utusan daerah yang bukan bagian dari chamber yang ikut membuat atau membentuk legislasi,'' kata Fadli Zon, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (15/2).
Selama ini, peran DPD memang sangat minim karena tidak dapat mengajukan usulan UU maupun dilibatkan dalam pembahasan UU. Meski kemudian ada putusan MA Nomor 79/PUU-XII/2014, yang menegaskan keterlibatan dan kewenangan DPD ketika mengajukan dan membahas RUU dengan sebuah naskah akademik terkait Otonomi Daerah, pembentukan/pemekaran, pengelolaan sumber daya alam dan kemandirian anggaran DPD.
''Jadi ini memang tidak tuntas bagaiman kita menempatkan DPD di dalam sistem ketatanegaraan kita. Kita ingin DPD itu kalau dijadikan Bikameral harus menjadi suatu kesepakatan nasional,'' jelas politisi partai Gerindra tersebut.