REPUBLIKA.CO.ID, SUNNYLANDS -- Presiden Joko Widodo mengajak para kepala negara dan pemerintahan memanfaatkan media sosial untuk memerangi terorisme. Hal itu disampaikan Presiden saat menjadi pembicara utama dalam sesi penanggulangan terorisme di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Amerika Serikat yang digelar di Sunnylands, California, Selasa (16/2).
Jokowi memaparkan, penyebaran paham ekstrimis dan ajakan bergabung dengan kelompok radikal seperti ISIS banyak dilakukan melalui media sosial. Oleh karenanya, cara memeranginya pun harus dengan cara menyebarkan perdamaian dan toleransi lewat media sosial.
“Saya mengajak agar Yang Mulia berkenan bergabung dengan saya untuk memperbanyak narasi melalui media sosial mengenai moderasi, toleransi dan perdamaian," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga sempat mengulas tentang peristiwa serangan teroris di Jalan Thamrin, Jakarta pada 14 Januari lalu. Serangan tersebut, Jokowi mengatakan, mengingatkan pemerintah mengenai pentingnya mengombinasikan dua pendekatan dalam menangani terorisme, yakni soft power dan hard power.
Dari segi hard power, Jokowi menyebut pemerintah Indonesia telah menyusun draf revisi Undang-Undang tentang terorisme. Ini dimaksudkan agar aparat keamanan dapat melakukan tindakan pencegahan sebelum serangan terjadi. Namun begitu, Jokowi memastikan bahwa penguatan legislasi tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Tak cukup dengan hard power, Jokowi mengatakan pendekatan keamanan juga harus digabungkan dengan pendekataan keagamaan dan kebudayaan. Inilah yang disebutnya pendekatan soft power. Dalam melakukan pendekatan ini, pemerintah melibatkan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Selain itu, pemerintah juga melakukan pendekatan deradikalisasi dan kontra radikalisasi melalui program rehabilitasi narapidana teroris serta program penerimaan kembali (reintegrasi) di masyarakat.
Presiden meyakini, kombinasi dua pendekatan yang telah dilakukan Indonesia itu bisa menjadi cara yang efektif untuk memerangi terorisme. Dia kemudian menyebut data warga negara Indonesia (WNI), yang bergabung dengan kelompok radikal di Suriah, yang hanya berjumlah 329 orang. Jumlah tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan total penduduk Indonesia yang mencapai 252 juta.
Berdasarkan analisis media, Jokowi mengatakan, faktor utama relatif sedikitnya penduduk Indonesia yang bergabung dengan kelompok radikal di Suriah adalah karena Indonesia tidak memiliki pemerintah yang represif, tidak dalam pendudukan, serta kondisi politik yang relatif stabil. Dari analisis tersebut, Presiden mengatakan dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk memerangi terorisme diperlukan kestabilan politik, pemerintah yang demokratis, serta tidak dalam pendudukan asing.