REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menyatakan, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dilakukan demi penyempurnaan dan penguatan lembaga antikorupsi tersebut.
Pasalnya, UU KPK ini dibuat di masa euforia reformasi setelah terkungkung selama 32 tahun Pemerintahan Orde Baru (Orba). Namun, dalam perjalanannya telah terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan oleh oknum KPK.
Di samping itu juga, KPK telah beberapa kali kalah di praperadilan dalam penetapan tersangka. Bercermin dari hal itu, maka sebaiknya revisi dilakukan pada beberapa hal untuk memperkuat KPK.
“Misalnya, KPK tidak bisa menerbitkan SP3, tetapi karena sudah pernah kalah di praperadilan dan ini fakta hukum, maka revisinya bisa menambahkan bahwa KPK tidak berwenang menetapkan SP3, kecuali atas perintah pengadilan,” kata Chairul Huda, di Jakarta (17/2).
Hal lain yang perlu direvisi adalah keberadaan penyidik KPK. Ada pro-kontra agar KPK memiliki penyidik sendiri atau disediakan oleh Polri.
“Soal penyidik ini juga menjadi masalah. Dalam kasus Hadi Poernomo, KPK kalah karena keabsahan penyidik yang tidak lagi punya kewenangan sebagai peyidik. Ini kan bisa direvisi, diberikan kewenangan mengangkat penyidik independen,” ujarnya.
Kalau memang tetap pengangkatan penyidik ada di Polri dan Kejaksaan, maka harus lebih ditegaskan lagi, jangan seperti yang sekarang terjadi.
Soal penyadapan, kata dia, hal ini perlu masuk dalam revisi UU KPK. Penyadapan tidak diatur dalam UU manapun, termasuk KUHP.
“Sementara dalam UU KPK soal penyadapan ini juga tidak diatur, sehingga mudah disalahgunakan,” katanya.
Kalau pun KPK beralasan bahwa penyadapan itu sudah masuk dalam standar operasional prosedur atau SOP, maka hal itu pun tidak bisa jadi alasan karena tidak punya kekuatan hukum mengikat.
“Karena itu, masalah penyadapan ini perlu diangkat ke UU sehingga ada kontrol publik jika penyadapan yang dilakukan KPK menyimpang dari SOP,” katanya.
Chairul Huda juga menyampaikan bahwa salah satu perumus UU KPK dahulu adalah Prof Romli Atmasasmita.
“Prof Romli belakangan sering berseberangan (dengan KPK), karena dia mungkin berpikir, ini mobil bagus yang saya bikin kok malah ditabrak-tabrakin oleh Bambang Widjojanto dan Abraham Samad,” katanya.
Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis juga setuju terhadap wacana revisi UU KPK, khususnya mengenai dibentuknya badan atau dewan pengawas.
Posisi dewan pengawas itu, kata dia, bisa di luar dan bisa di dalam KPK sendiri. Dan yang terpenting dewan pengawas ini dibentuk untuk menghindari tirani demokrasi dan karena itu kita membuat kekuasaan terbagi-bagi.
“Kalau ditanya Dewan Pengawas apakah berada di luar atau di dalam KPK, saya lebih setuju berada di dalam KPK, semacam pengawas internal, melekat di dalam KPK,” kata alumni Universitas Hasanuddin ini.
Margarito malah berpikir, melihat situasi yang berkembang saat ini, dewan atau lembaga pengawas tidak hanya ada di KPK, tetapi di dua lembaga penegak hukum lainnya yakni Kepolisian dan Kejaksaan.
“Semua organisasi di dunia ini ada pengawasnya. Jadi kita buat dalam skala yang lebih besar lagi yakni membentuk Dewan Pengawas Penyidik untuk mengawasi tiga lembaga yakni KPK, Kepolisian dan Kejaksaan,” katanya.