REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Aksi teatrikal mewarnai persidangan dugaan kasus pembunuhan dengan korban aktivis lingkungan Salim Kancil asal Lumajang Jawa Timur, di depan kantor Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (18/2).
Aksi teatrikal yang dilakukan oleh elemen masyarakat itu menceritakan dua orang aktivis lingkungan Salim kancil dan Tosan yang harus berjuang melawan ancaman penambang pasir besi di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang. Salah seorang koordinator aksi Johan Avie mengatakan kalau aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk dukungan supaya persidangan yang berlangsung bisa berjalan dengan transparan.
"Kedatangan kami ke sini, pertama adalah untuk memantau persidangan. Dan yang kedua adalah menyerukan aksi bahwa kejahatan terhadap Salim Kancil bukanlah kasus kriminal biasa. Kasus ini merupakan rangkaian panjang mafia pertambangan," katanya.
Johan Avie yang juga kuasa hukum Walhi mengkritisi aparat hukum yang menurutnya telah menyederhanakan kasus ini menjadi kasus kriminal biasa.
"Padahal kasus ini seharusnya bisa menyeret para penambang-penambang liar lain yang ada di Lumajang," katanya.
(Baca juga: LBH Bentuk Tim Pemantau Peradilan Salim Kancil)
Dalam aksinya peserta aksi memberikan beberapa tuntutan di antaranya adalah meminta kepada majelis hakim PN Surabaya untuk bertindak imparsial dan menghukum dengan hukuman maksimal kepada seluruh pelaku kejahatan mafia tambang pasir di Lumajang
Selain itu, meminta kepada penuntut umum untuk mengajukan dakwaan dengan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku kejahatan mafia tambang pasir dalam kasus Lumajang. Pihaknya juga mendorong kepada Komnas HAM dan KPK untuk ikut memantau jalannya persidangan, mengingat potensi pelanggaran HAM dan praktik korupsi sangat kuat dalam kasus ini.
"Kami juga meminta polisi untuk menangkap 13 pelaku pembunuhan dan penganiayaan terhadap Salim Kancil beserta Tosan yang hingga kini masih bebas berkeliaran di Desa Selok Awar-Awar," katanya.
Kasus pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan Tosan terjadi pada Sabtu pagi, 26 September 2015. Dua warga Desa Selok Awar-awar itu menjadi korban penyiksaan lebih dari 30 orang yang mendukung penambangan pasir liar di Pantai Watu Pecak atau anak buah Kepala Desa Selok Awar-Awar yang kini menjadi tersangka