REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen DPP PPP Dimyati Natakusuma mencurigai adanya niat pemerintah memelihara konflik yang terjadi di internal PPP, pascakeputusan Menteri Hukum dan HAM memperpanjang masa kepengurusan PPP hasil Muktamar Bandung.
"Keluarnya SK perpanjangan Muktamar Bandung semakin menunjukkan adanya niat dan kepentingan pemerintah memelihara konflik PPP agar partai berlambang Kabah ini hancur lebur berantakan," ujar Dimyati, Kamis (18/2).
Dimyati menegaskan dengan mengeluarkan SK yang memperpanjang periode kepengurusan Muktamar Bandung, Menkumham sejatinya telah melakukan tindakan melawan Putusan Mahkamah Agung No. 601 K/Pdt.Sus-Parpol/2015. Menurut dia, sebagai pelaksana kebijakan hukum di Indonesia, Menkumham seharusnya mengerti kondisi objektif PPP saat ini dari sudut konstitusi partai dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan malah mengeluarkan SK yang melawan dengan hukum dan akal sehat.
"Solusi terhadap setiap permasalahan harus lah berdasarkan hukum. Bukan berdasarkan niat dan kepentingan, apalagi akal-akalan penguasa," tegas dia.
Dia menekankan penyelesaian konflik internal PPP harus tetap berbasis kepada Putusan Mahkamah Partai tertanggal 11 Oktober 2014, Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 504 K/TUN/2015, dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 601 K/Pdt.Sus-Parpol/2015.
Baginya, penyelesaian di luar tiga Putusan tersebut adalah tindakan yang tidak sesuai dengan asas negara hukum, dan bertentangan dengan UUD 1945. Sebelumnya, Mahkamah Agung memutuskan kepengurusan PPP hasil Muktamar Jakarta di bawah kepemimpinan Djan Faridz adalah yang sah, sedangkan kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya di bawah kepemimpinan Romahurmuziy tidak sah.
Namun, pada Rabu (17/2), Menkumham Yasonna Laoly memutuskan memperpanjang kepengurusan PPP hasil Muktamar Bandung. Menurut Laoly, kepengurusan PPP hasil Muktamar Jakarta tidak kunjung memenuhi persyaratan untuk disahkan.