REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Neng Zubaidah mengatakan sudah sejak zaman kerajaan Majapahit Nusantara menolak homoseksual. Eneng mengatakan, berdasarkan undang-undang Majapahit pasal 17, dinyatakan kedi, pencuri pembunuh itu hukumannya mati.
"Apa kedi itu, homoseksual," kata Neng dalam diskusi bertajuk 'Merangkul Korban Menolak Legalisasi LGBT', di kantor Harian Umum Republika, Kamis (18/2). Kedi dalam kamus bahasa Indonesia laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan; perempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki; banci.
(Baca: Majelis Agama: LGBT Sangat Meresahkan)
Neng mengatakan undang-undang tersebut di terjemahkan oleh Profesor Slamet Mulyana. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan pula jika ada wanita menikahi wanita, atau wanita yang lari dari suaminya dan tinggal bersama perempuan akan didenda empat pali.
Ia menambahkan pada sejak saat itu, kerajaan Majapahit sudah menolak LGBT.
Sementara itu, gencarnya propaganda dan promosi terhadap kehadiran Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di tengah masyarakat Indonesia menimbulkan kekhawatiran Majelis-majelis Agama. Majelis Agama yang terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), menyimpulkan, LGBT jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama.
"Aktivitas LGBT juga sangat meresahkan masyarakat dan berdampak negatif terhadap tatanan sosial bangsa Indonesia," ujar Majelis Agama dalam pernyataan tertulis, Kamis (18/2) di Jakarta.