REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Indonesia bisa mengandalkan pengembangan industri agro guna memperbaiki ekonomi nasional di tengah perekonomian global yang masih lesu. Sayangnya, sektor tersebut dinilai masih belum dikerjakan secara serius sehingga potensi yang besar tidak tergarap maksimal.
"Perusahaan besar dunia makin banyak yang tumbang, PHK, ekonomi lesu, untuk Indonesia, kita punya potensi di agribisnis yang bisa dimaksimalkan," kata Ketua Pelaksana Indonesia Business Competitiveness Conference sekaligus Chief Strategy Consultant Arrbey Handito Joewono dalam acara pada Kamis (18/2).
Riset Arrbey Competitiveness Center menyebut, terdapat lima rekomendasi untuk menumbuhkan daya saing perusahaan agro. Di antaranya ekspansi pasar, diversifikasi bisnis, tata kelola perusahaan, pemanfaatan teknologi dan manajemen aset. Baik buruknya daya saing suatu perusahaan bisa dilihat dari lima indikator tersebut.
Pengamat Ekonomi Pertanian Hermanto Siregar yang mewakili Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebut, ranah agro seharusnya menjadi ciri khas bisnis Indonesia. Namun sektor tersebut kerap dipandang kurang seksi. Data World Bank Competitiveness menyebut, Indonesia menempati peringkat 114 dari 189 negara dari segi daya saing.
"Kita cenderung di bawah, dengan Vietnam saja ia ada di ranking 78, padahal baru merdeka jauh setelah kita," tuturnya. Sementara Malaysia menempati peringkat 18 dunia. Pemerintah bukannya tak melakukan akselerasi. Tapi cenderung berjalan lambat dan stagnan. Peningkatan daya saing terjadi pada 2014 ke 2015 dapat naik tiga peringkat.
Hermanto menyebut, penentu daya saing adalah teknologi. Ia dihasilkan dari riset and development yang harus digarap serius jangka panjang. Setelah itu, barulah dilakukan agenda marketing agar produk agribisnis hasil teknologi dikemas menarik. Inilah yang belum kelihatan menjadi fokus pembangunan ekonomi di Indonesia. "Potensi kita besar, tapi kita lebih banyak memperhatikan non agro industri, apakah itu mineral, otomotif," tuturnya.