REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sikap komisioner Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai berlebihan.
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Assyafiyah, Habloel Mawadi di Jakarta, Jumat (10/2), menilai, KPK memilki ketakutan yang berlebihan terhadap rencana revisi UU KPK yang sedang bergulir.
Ia melihat poin-poin di dalam draf revisi undang-undang tersebut, justru untuk memperkuat dan menegaskan bahwa apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan prosedur dan mekanisme dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Empat poin krusial dalam draf revisi UU KPK bukanlah poin yang akan melemahkan lembaga KPK, tetapi justru sebagai upaya mendorong KPK menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik,’ Kata Mawadi, Selasa (19/2).
Hal itu juga karena arena dalam penanganan perkara, KPK pernah beberapa kali kalah ketika perkara yang ditanganinya di praperadilankan. Akibat adanya tersebut, menurutnya, revisi UU KPK menjadi relevan untuk diparipurnakan.
Menyinggung mengai adanya pembuatan dewan pengawas KPK dalam draf revisi, kata Habloel, tidak perlu dikhawatirkan akan membatasi kinerja KPK dalam memberantas korupsi. Hal ini karena kinerja KPK tetap dilakukan berdasarkan prinsip kolektif kolegial.
Sementara Dewan Pengawas hanya berfungsi sebagai supervisi atau dewan etik, yang diharapkan nantinya diisi oleh tokoh-tokoh negarawan, yang memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi.
“Orang-orang seperti itu cukup banyak di Indonesia dan saya yakin sangat pro terhadap pemberantasan korupsi di republik ini dan tidak akan membatasi. Kalau sudah sesuai dengan mekanisme, kenapa harus takut untuk diawasi, kan begitu,” ujarnya.
Sedangkan pada poin penyadapan, yang akan diatur untuk memperoleh izin terlebih dahulu dari dewan pengawas, pengajar hukum di UIA Jakarta ini mengakui bahwa penyadapan sebagai sarana penting untuk memburu para koruptor, tetapi penyadapan tetap harus dilakukan melalui prosedur dan mekanisme.
“Sehingga tidak sembarang orang yang akan disadap. Dan lagi pula selama ini, penyadapan itu kerap melebar dengan mengumbar pada persoalan-persoalan yang lain, seperti persoalan pribadi misalnya,” tegas dia.