Senin 22 Feb 2016 15:17 WIB

Akademisi: Revisi UU KPK Terkesan Mengada-ada

Stop Revisi RUU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi unjuk rasa untuk menghentikan revisi RUU KPK di depan Komplek Parlemen DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2). (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Stop Revisi RUU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi unjuk rasa untuk menghentikan revisi RUU KPK di depan Komplek Parlemen DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Rudolfus Rony Talla, berpendapat rencana sebagian fraksi di DPR untuk merevisi UU KPK, belum terlalu perlu saat ini. Bahkan, menurut dia revisi UU KPK terkesan mengada-ada.

"KPK yang dibentuk sebagai sebuah lembaga dengan memiliki sifat 'ad hoc' itu selama ini telah menjalankan perannya secara benar dalam upaya pemberantasan praktik korupsi di negeri ini," katanya di Kupang, Senin (21/2).

Secara akademik, kata dia, hal-hal yang berkaitan dengan perubahan terhadap landasan pijak pelaksanaan tugas dan fungsi KPK, tampaknya belum terlalu perlu untuk direvisi. "Yang harus dilakukan oleh DPR adalah bagaimana memberikan penguatan terhadap lembaga tersebut agar lebih profesional dalam melakukan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi," ucap dia.

Menurut dia, langkah-langkah untuk memperkuat KPK antara lain dengan memberikan kebebasan kepada lembaga antirasuah itu untuk menunjuk dan menetapkan penyidik dan pentut umum sendiri, agar tidak terintervensi lembaga lainnya. Dia mengatakan, panas-dinginnya hubungan KPK dan kepolisian yang terus saja terjadi, sebagai salah satu contoh masih bergantungnya lembaga KPK dengan institusi penegak hukum lainnya.

"Penyidik masih dari kepolisian sehingga intervensi kepentingan mungkin saja terjadi. Lihat saja kasus penyidik KPK Novel Baswedan yang jadi korban karena kepentingan," katanya.

Hal lainnya, terhadap keinginan mengubah batasan jumlah kerugian negara yang selama ini diterapkan. Menurut dosen Sistem Peradilan Pidana dan Hukum Acara Pidana itu, hal tersebut tidak penting lagi untuk diberikan pembatasan untuk selanjutnya diubah dalam revisi UU KPK.

"Niat ini hanya untuk mengkerdilkan semangat dan power KPK dalam melakukan tindakan korupsi. Termasuk upaya mengubah soal kedaluarsa tindak pidana korupsii," katanya.

Menurut dia, niatan ini hanya sebagai pelemahan yang tentunya tidak diharapkan oleh seluruh komponen bangsa, di tengah gencar-gencarnya upaya pemberantasan praktik korupsi di negeri ini.

"KPK dibentuk untuk menjadi alternatif lembaga penegakan hukum bidang korupsi setelah dua lembaga lain yaitu kepolisian dan kejaksaan dianggap tidak lagi bisa dipercaya. Karena itu tidaklah pantas dilemahkan, tetapi sebaliknya harus diperkuat," katanya.

Dalam hubungan dengan itu, ia meminta Presiden Joko Widodo untuk mengkaji kembali kemungkinan rencana revisi tersebut, demi penegakan dan pemberantasan korupsi di negeri dengan catatan panjang korupsi tersebut.

KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima azas, yaitu, kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan azas proporsionalitas.

KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. Dalam perjalanan sejumlah wakil rakyat di DPR RI berkeinginan mengubah undang-undang KPK itu.

Ketua KPK Agus Rahardjo, bahkan menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya jika revisi UU KPK yang dicanangkan DPR tetap dilanjukan. "Kalau RUU tetap dilakukan saya akan jadi orang pertama yang mengundurkan diri," ujar Agus di Jakarta, Ahad (21/2).

Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), wacana revisi UU KPK memiliki sejumlah catatan yang melemahkan lembaga antikorupsi itu, di antaranya mekanisme penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement