REPUBLIKA.CO.ID,Husein Thabataba'i, ahli tafsir modern dalam kitabnya, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, menyatakan bahwa musibah adalah kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikehendaki. Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Nasr at-Thabari pernah mengatakan, ''Apa yang menimpa manusia berupa hal-hal yang tidak dikehendaki, itu namanya musibah.''
Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menyinggung persoalan 'musibah' ataupun nama lain dari itu, bala dan cobaan. Seperti termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 155, Al Maidah (5) ayat 49, dan At Taubah (9) ayat 50.
Musibah yang menimpa seseorang atau suatu kelompok tertentu, berupa sakit, kerugian dalam usaha, kehilangan barang, meninggal dunia (musibah yang bersifat individual), dan bencana alam, peperangan, wabah penyakit, kekeringan yang berkepanjangan, dan musibah lain yang bersifat sosial.
Musibah adalah ketentuan yang datang dari Allah SWT yang tidak bisa ditolak maupun dicegah. Walau demikian, manusia wajib untuk menghindari atau mengantisipasi dari berbagai bentuk musibah yang sudah maupun yang akan terjadi pada diri kita. Seorang yang terkena sakit diwajibkan untuk berobat agar mendapatkan kesehatan seperti sedia kala. Bila terkena banjir, kekeringan, ataupun bencana alam lainnya, diwajibkan baginya untuk menghindar dari bahaya tersebut.
Upaya untuk mengantisipasi musibah bukan saja pada tingkat pencegahan semata, tapi juga pada tingkat penanggulangannya. Karena membiarkan diri dalam kerusakan dan kebinasaan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Alquran dalam menjaga jiwa. Sebagaimana firman Allah, ''Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah sangat menyukai orang-orang yang berbuat baik.'' (QS Al Baqarah [2]: 195).
Islam memberikan tuntunan dalam menyikapi musibah yang dialami oleh seseorang, berupa istirja -- mengembalikan segalanya kepada Allah SWT dengan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya). Berdoa agar musibah yang menimpa diri kita hanyalah bentuk ujian dari Allah SWT bagi hamba-Nya yang soleh. Ikhlas dan lapang dada dalam menghadapinya, agar kita mendapatkan rahmat dan pahala-Nya.
Dalam kehidupan di dunia, secara niscaya manusia tidak akan pernah terlepas dari musibah, bencana, dan cobaan. Selama hayat masih dikandung badan, seketika itu juga musibah mengintai dan kerap menghampiri kita. Dua hal saja menghadapinya, melakukan upaya antisipasi dan ber-istirja.
Meskipun telah berlalu ribuan tahun, dan terjadi berbagai perubahan tempat, perilaku, teknologi, dan peradaban, namun tidak banyak yang berubah dalam struktur sosial dan sistem dari orang-orang tidak beriman yang telah disebutkan tadi. Sebagaimana telah ditekankan di atas, segolongan tertentu dari masyarakat di mana kita hidup memiliki semua sifat buruk dari kaum-kaum yang digambarkan dalam Alquran.
Seperti halnya kaum Tsamud yang mengurangi timbangan, "komunitas homoseksual" yang dibela kapan saja perbuatan itu muncul, atau orang-orang yang tidak bersyukur dan ingkar, sebagaimana kaum Saba'. Semua ini adalah tanda-tanda yang sangat jelas....
Kita hendaknya selalu mencamkan dalam pikiran bahwa apa pun perbedaan dalam berbagai masyarakat, pada tingkat perkembangan teknologi mana pun mereka, atau apa pun potensi mereka, hal ini tidak ada artinya sama sekali. Tidak satu pun dari hal-hal ini dapat menyelamatkan seseorang dari hukuman dan azab Allah.
Alquran mengingatkan kita atas kenyataan ini: "Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memak-murkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan memba-wa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah tidak sekali-kali berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri." (QS Ar-Ruum [30]: 9)