REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengungkapkan tengah menyiapkan aturan penerimaan peserta didik baru.
Aturan yang direncanakan akan selesai pada Maret 2016 ini dilakukan karena terdapat informasi penambahan jumlah kelas baru di sejumlah sekolah.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Hamid Muhammad menjelaskan, aturan ini dibuat Kemendikbud karena terdapat penambahan rombongan belajar di kota besar secara tidak transparan.
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di kota besar memang menggunakan aplikasi online yang seharusnya sudah dijelaskan kuota peserta didiknya.
"Namun di lapangan ternyata ada sekolah yang menyisakan beberapa kelas secara tidak transparan," kata Hamid dalam Konferensi Pers Penutupan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RPNK) 2016 di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kemendikbud, Sawangan, Depok, Selasa (23/2).
Hal ini kemungkinan besar terjadi karena ada permainan ‘jalur belakang’. Oleh sebab itu, Kemendikbud mencoba mengatur ulang sistem PPDB agar masalah tersebut tidak terjadi kembali.
Menurut Hamid, jika suatu sekolah melaksanakan PPDB online, maka itu berarti harus melakukan sistem online secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak perlu melakukan penambahan kelas atau peserta didik seusai yang telah ditetapkan pada PPDB online-nya.
Dengan adanya aturan ini nanti, Hamid berharap, kasus ‘jalur belakang’di Depok, Pamulang, Kota Tangerang dan sebagainya tidak terjadi kembali. Kondisi ini harus segera ditata dan Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemendikbud juga akan berusaha mengawal daerah-daerah yang bermasalah pada PPDB-nya.
Tahun lalu, Ombudsman RI (ORI) mengungkapkan ada indikasi jual beli kursi penerimaan siswa baru di Depok. Kepala Pengaduan Bidang Pendidikan Ombudsman menerangkan, Dinas Pendidikan (Disdik) Depok pada dasarnya hanya membuka kuota PPDB online sebanyak 36 siswa per rombongan belajar. Namun, setelah selesai PPDB online, pada 9 Juli, kuota yang tercantum mencapai 40 siswa per rombongan belajar.
"Penambahan ini sebagai 'jatah' bagi anggota DPRD, pejabat, hingga LSM dan wartawan," jelas Budi. Menurutnya, kursi itu diperjualbelikan seharga Rp 2 juta hingga Rp 7 juta.