REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada era informasi ini, fungsi dan peran media massa semakin penting dalam konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Media massa dengan tayangan yang terus-menerus menerpa masyarakat, sudah seharusnya memainkan fungsi dan peran positif.
Misalnya, ikut berperan membangun jati diri bangsa Indonesia yang berideologi Pancasila dan hidup dengan acuan norma agama dan budaya luhur.
Jika ada sebuah organisasi yang kegiatannya justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, pastilah akan mendapatkan konsekuensi hukum dan politik.
Namun, bagaimana jika lembaga penyiaran secara sadar menayangkan program-program yang bertentangan secara terus-menerus?
Kesadaran ideologi negara semacam inilah yang membuat Singapura, misalnya, memiliki peraturan perundang-undangan tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
"Lembaga penyiaran mereka punya kewajiban untuk tidak mempromosikan pelaku dan perilaku LGBT," ujar Ketua Komisi I DPR Mahfudz Sidiq, baru-baru ini. Masih banyak negara maju lain yang memiliki peraturan perundang-undangan serupa dengan Singapura.
Saat ini, wacana publik begitu kuat tentang LGBT. Umumnya cemas dan khawatir akan bahaya penyakit sosial ini. Namun, kata Mahfudz, ada saja kelompok-kelompok kecil pendukung LGBT yang terus berjuang hingga mencapai penerimaan, pengakuan, dan persamaan hak hukum. Pertanyaannya, bagaimana posisi dan sikap lembaga penyiaran di Indonesia?
"Saya tidak mengajak mereka untuk terjebak pada polemik dan memilih sikap pro atau kontra. Tapi, saya sedang mengajak semua lembaga penyiaran untuk menunjukkan komitmennya pada peraturan perundang-undangan yang ada dan terus bekerja untuk kepentingan masyarakat luas," ujar politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjelaskan.
Jika tidak ada komitmen itu, sepantasnyalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pemerintah untuk mempertimbangkan kembali perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) bagi mereka yang akan berakhir masa IPP-nya.