REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT PLN (Persero) merasa perlunya kawalan pihak Kejaksaan terkait mega-proyek pembangkit listrik 35 ribu MW yang dicanangkan pemerintah. Alasannya, karena proyek ini tergolong besar maka dinilai rentan permasalahan hukum dan perizinan.
Direktur Bisnis PLN Regional Kalimantan Djoko R. Abumanan menjelaskan, sebagai upaya antisipasi dan pencegahan dari permasalahan hukum dalam pelaksanaan program 35 ribu MW, PLN menyelenggarakan sosialisasi Tim Pengawalan dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Kejaksaan Agung RI (TP4P) kepada unit-unit PLN se-regional Kalimantan. Acara ini juga dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri se- Kalimantan.
Djoko mengatakan, besarnya program 35 ribu MW secara fisik dan keuangan, menjadikannya rentan akan berbagai hal terkait hukum, seperti pembebasan tanah dan perijinan. Untuk itu, ujarnya, diperlukan pengawalan dan pengamanan dari sisi hukum agar program 35 ribu MW menjadi kuat dalam pelaksanaannya.
"Untuk mencapai total pembangkit di Kalimantan sebesar 1.611 MW pada tahun 2019 bukanlah pekerjaan yang mudah, karena tidak akan terlepas dari masalah teknis maupun non teknis, bahkan permasalahan hukum sekalipun," kata Djoko dalam keterangan resmi PLN, Rabu (24/2).
Djoko menambahkan, pengawalan dari pihak kejaksaan ini belajar dari pelaksanaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan sebelumnya seperti proyek Fast Track Program (FTP) I dan FTP II yang mengalami banyak kendala menjadikan pelaksanaan proyek terlambat.
“Kendala seperti sulitnya pembebasan tanah, lamanya proses perijinan yang menyebabkan terganggunya proses konstruki, serta kontraktor listrik yang tidak perform menjadikan banyak proyek terhambat,” jelas Djoko.
Baca juga: Pembangunan PLTU Waai Ambon Diambilalih Kementerian BUMN