REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan total kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sepanjang 2015 mencapai Rp 31,077 triliun. Staf Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah mengatakan sebagian besar modus yang digunakan adalah penyalahgunaan anggaran.
"Modus penyalahgunaan anggaran sekitar 24 persen atau sebanyak 134 kasus dengan nilai total kerugian negara Rp 803,3 miliar," katanya dalam pemaparan hasil pemantauan penanganan perkara korupsi, Rabu (24/2).
Wana menjelaskan, terdapat 550 kasus korupsi yang masuk tahap penyidikan selama 2015, dengan rincian 308 kasus pada semester satu dan 242 kasus pada semester dua.
Modus korupsi terbanyak kedua adalah penggelapan dengan jumlah 107 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 412,4 miliar, ketiga "mark up" sebanyak 104 kasus dengan kerugian Rp 455 miliar, dan penyalahgunaan wewenang sebanyak 102 kasus dengan kerugian Rp 991,8 miliar.
Selanjutnya, korupsi lebih banyak terjadi di sektor keuangan daerah dengan 105 kasus korupsi. Kerugian negara akibat korupsi keuangan daerah sebesar Rp 385,5 miliar. Sedangkan jabatan tersangka yang paling banyak selama 2015 adalah pejabat atau pegawai pemda/kementerian, disusul direktur dan komisaris pegawai swasta, kepala dinas, anggota DPR/DPRD, dan kepala desa/lurah serta camat.
Berdasarkan penanganan korupsi oleh aparat penegak hukum, ICW mencatat Kejaksaan menangani sebanyak 369 atau 67,4 persen kasus korupsi dengan total nilai kerugian Rp 1,2 triliun. Kepolisian menangani 151 kasus atau 27 persen dengan nilai kerugian negara Rp 1,1 triliun. Sedangkan Komisi Ppemberantasan Korupsi (KPK) menangani sebanyak 30 atau sekitar lima persen kasus dengan nilai kerugian negara Rp 722,6 miliar.
Dalam kesempatan tersebut, Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Pol Erwanto Kurniadi menyanggah data yang dipaparkan ICW. Menurut dia, jumlah kasus korupsi yang ditangani Polri lebih banyak dari data tersebut.
"Sepanjang 2015 sebanyak 927 perkara sudah masuk ke P21, dengan kerugian negara lebih dari Rp 437 miliar," kata dia.
Ia menilai perbedaan data tersebut muncul karena perbedaan persepsi, yakni pihaknya menghitung perkara, sedangkan ICW menghitung kasus sehingga lebih sedikit.