REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mendukung sepenuhnya gerakan rakyat Timor Leste yang menuntut penetapan batas perairan di Laut Timor, dan mendesak negeri Kanguru itu untuk segera mengakhiri penjajahannya di Laut Timor.
"Apa yang diperjuangan rakyat Timor Leste, sama dengan apa yang diperjuangkan rakyat Timor Barat di Nusa Tenggara Timur selama ini, sebab hampir 90 persen kekayaan alam di Laut Timor, seperti minyak dan gas bumi, dikuasai sepenuhnya oleh Australia," kata Tanoni kepada pers di Kupang, Kamis (25/2).
Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu mengatakan penetapan batas wilayah perairan dengan menggunakan prinsip-prinsip internasional (median line) di Laut Timor, merupakan pilihan yang tepat agar kekayaan alam yang terkandung di Celah Timor (Timor Gap) juga dinikmati oleh rakyat kedua negara yang ada di Pulau Timor ini.
Sekitar 5.000 massa yang tergabung dalam Gerakan Anti Okupasi Laut Timor, Selasa (23/2), melancarkan aksi demontrasi di depan Kedutaan Besar Australia di Dili, ibu kota negara Timor Leste, menuntut penyelesaian sengketa batas laut dengan mengacu pada juridiksi pengadilan internasional (ICJ) serta garis tengah (median line) sebagaimana diatur dalam hukum internasional.
Para demonstran menilai Australia tidak menghargai kedaulatan Timor Leste, karena tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan batas wilayah perairan kedua negara di Laut Timor yang kaya akan minyak dan gas bumi itu.
"Australia harus secepatnya menyelesaikan sengketa celah Timor dengan Pemerintah Timor Leste. Jangan hanya menggunakan kekuatan politik dan ekonominya untuk mencuri kekayaan alam yang ada di Laut Timor," kata juru bicara Gerakan Anti Okupasi Laut Timor, Juvinal Dias dalam orasinya.
Menurut dia, sudah lebih dari 40 tahun, Laut Timor dan isinya di eksploitasi oleh Australia. Sejak 1999, atau setelah jajak pendapat di Timor Timur, Australia sudah meraup keuntungan dari Celah Timor sekitar 5 miliar dolar AS, sehingga mengulur-ulur waktu untuk melakukan perundingan secara trilateral dengan Timor Leste dan Indonesia.
Terkait dengan hal ini, Ferdi Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia tersebut mendesak Canberra untuk segera mengakhir penjajahannya di atas Laut Timor, karena harta dan kekayaan alam yang terkandung di Laut Timor, seperti minyak dan gas bumi merupakan haknya rakyat di Pulau Timor.
Penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" itu juga mendesak Canberra untuk mengembalikan hak-hak rakyat Timor Barat, NTT atas gugusan Pulau Pasir yang telah diklaim Australia sebagai bagian dari cagar alam negeri Kanguru.
Gugusan Pulau Pasir yang kaya akan minyak dan biota laut itu, merupakan tempat peristirahatan para nelayan tradisional Indonesia setelah mencari ikan dan biota laut lainnya di wilayah perairan tersebut sejak berabad-abad lamanya, jauh sebelum Kapten Samuel Ashmore dari Inggris berlayar mencapai gugusan kepulauan tersebut pada 1811.
Tanoni juga mendesak Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membatalkan seluruh perjanjian batas perairan antara RI-Australia di Laut Timor dan Laut Arafuru yang dibuat sejaktahun 1974-1997 serta seluruh perjanjian kerja sama Perikanan RI-Australia yang sangat merugikan rakyat Indonesia di Timor Barat.
Karena itu, kata dia, penetapan batas wilayah perairan ketiga negara (RI-Timor Leste-Australia) di Laut Timor berdasarkan prinsip-prinsip internasional (media line) merupakan pilihan yang tepat agar harta kekayaan yang terkandung di Laut Timor, tidak hanya dinikmati oleh Australia.
"Jakarta dan Dili perlu terus mendesak Canberra agar batas wilayah perairan di Laut Timor segera ditetapkan secara permanen, karena Timor Timur telah berdiri menjadi sebuah negara merdeka, yang tentunya ikut mempengaruhi batas wilayah perairan yang perlu dirundingkan secara trilateral," tutup dia.