REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto mengajukan permohonan uji materi atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang-Undang KPK.
"Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 44 Huruf b UU ITE," ujar kuasa hukum Novanto, Syaefullah Hamid, di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/2).
Adapun dua ketentuan tersebut mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK terkait alat bukti elektronik yang sah.
Novanto menilai bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas tentang alat bukti yang sah serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan perekaman. Dalam kasus Novanto, Kejaksaan Agung melampirkan alat bukti atas dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dari rekaman pembicaraan yang direkam oleh Maroef Sjamsoeddin.
Syaefullah kemudian menambahkan bahwa tindakan merekam secara tidak sah telah melanggar konstitusi. "Pemohon merasa bahwa rekaman tersebut tidak sah karena dilakukan tanpa persetujuan orang yang berbicara dalam rekaman sehingga rekaman tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti," ujar Syaefullah.
Novanto lalu meminta mahkamah untuk menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
(Baca juga: Tiga Politikus PKB Kembali Dipanggil KPK)