REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menyoroti mekanisme pengaturan zona dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) 2035 Provinsi DKI Jakarta melanggar peraturan perundang-undangan. Hal ini, terlihat dalam dokumen Ranperda RZWP-3-K yang menyebutkan soal pemanfaatan pengendalian ruang di wilayah pesisir pulau-pulau kecil.
Raperda RZWP-3-K memberi wewenang kepada Gubernur, pasal 40 ayat (4) menyebutkan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah pesisir pulau-pulau kecil di tetapkan dengan keputusan Gubernur. “Ketentuan ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”, ungkap Syamsuddin Alimsyah, Direktur Kopel Indonesia di Jakarta, Kamis (25/2).
Dia mengatakan pada UU No 1 tahun 2014 pasal 26 A ayat (1) menyebutkan pemanfaatan terhadap wilayah perairan dan pulau-pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin menteri. Begitu pun, pasal 50 ayat (1) tentang pemanfaatan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, kawasan strategis nasional dan kawasan konservasi nasional merupakan wewenang menteri.
Selain itu, dalam Raperda RZWP-3-K, pasal 50 huruf b mengatur larangan setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang laut yang tidak sesuai dengan izin. Akan tetapi pengaturan dalam Ranperda ini tidak memberi kepastian hukum terhadap izin yang sudah di keluarkan oleh Gubernur yaitu soal sanksi.
“Ini semua terjadi karena selama pembahasan Ranperda, pemprov dan DPRD tidak pernah melakukan kordinasi dengan pemerintah”, ujar Syamsudin.
Sementara itu, akses masyarakat juga tidak jelas di atur dalam Ranperda RZWP-3-K ini. Tujuan penetapan Raperda RZWP-3-K 2035, Syamsuddin mengatakan adalah memberi akses masyarakat dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial danekonomis.
Dalam dalam pasal 46 huruf c, mengatur kewajiban masyarakat agar tidak melakukan kegiatan yang dilarang dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengaturan terkait pemanfaatan wilayah pesisir oleh masyarakat perlu ada kejelasan seperti apa pengaturanya.
Begitu pun pada pasal 54 huruf c, Syamsuddin menyebutkan hak masyarakat untuk memperoleh pergantian yang layak akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan RZWP-3-K diselenggarakan dengan cara musyawarah di antara pihak yang berkepentingan.
“Pertanyaan kemudian kenapa tidak diatur dalam Raperda ini terkait hak masyarakat untuk menikmati pemanfaatan ruang”, tambah Syam.
Padahal, ketentuan sanksi pada pasal 51 ayat 1 dengan jelas menyebutkan setiap orang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 50 yang tidak sesuai dengan RZWP-3-K dikenakan sanksi administrasi. Dan pada ayat (2) huruf c, penghentian sementara pelayanan umum.
“Bagaimana kalau individu yang melanggar, pelayanan umum mana yang akan dihentikan. Atau apakah hak-hak individu warga negara yang melanggar akan dikenakan sanksi untuk tidak menerima pelayanan umum dari negara. Ini semua yang tidak jelas diatur dalam ranperda”, ujarnya.