Jumat 26 Feb 2016 18:00 WIB

Mahabbah Modal Awal Jalin Komunikasi kepada Pencipta

Rep: c39/ Red: Agung Sasongko
Berdoa kepada Allah SWT (ilustrasi)
Foto: Niranjan Shrestha/AP
Berdoa kepada Allah SWT (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam al-Ghazali mengatakan, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Jika kecenderungan tersebut mendalam dan menguat maka ia dinamakan rindu.

Menurut al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah.

Ia mencontohkan seperti halnya cinta umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW, bahwa cinta tersebut merupakan wujud kecintaan kita terhadap Allah SWT. Hal itu karena Muhammad adalah hamba-Nya yang dicintai-Nya.

Para kalangan Sufi memang menganggap mahabbah sebagai modal awal untuk menjalin komunikasi kepada Allah SWT.

Dalam buku Tasawuf Madzab Cinta, dikisahkan Abu Yazid al Basthami mendefinisikan mahabbah sebagai sikap menganggap sedikit sesuatu yang banyak yang berasal dari diri kita dan menilai hal sedikit yang bersumber dari kekasih kita sebagai sesuatu yang besar. Karena itu, cinta kepada Allah merupakan tingkatan puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf.

(Baca: Yuk pahami Muhabbah)

Tentang mahabbah juga dapat dijumpai di dalam sumber agama Islam, yaitu Alquran. Dalam surah Ali Imran ayat 31, Allah berfirman, "Katakanlah: jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Dalam surah al-Maidah ayat 54, Allah juga berfirman, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya dan yang mencintai-Nya." Namun, untuk menemukan cinta sejati Allah tersebut, kita mungkin perlu terlebih dahulu mulai belajar membaca Alquran dengan benar dan memahami kandungan dan maksudnya.

Selain itu, tekun melakukan shalat fardhu beserta shalat sunahnya. Sebab, hal ini nantinya juga dapat mengantarkan kita ke tingkatan cinta yang lebih tinggi kepada Allah.

Selain itu, kita harus lebih mendahulukan apa yang dicintai Allah dari pada cinta hawa nafsu kita walau hal ini berat. Karena itu, kita harus selalu komitmen dan selalu konsisten dengan aturan Allah. Allah mengingatkan dalam firman-Nya.

"Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, per- niagaan yang kamu khawatirkan untung ruginya, dan rumah-rumah yang kamu senangi lebih kamu cintai dari Allah dan rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan putusan-Nya. Dan, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS at-Taubah [9]: 24)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement