REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok teroris yang dipimpin Santoso sejak lama diburu oleh pasukan gabungan dari Polri dan TNI. Tak kurang dari 2.000 personel diterjunkan untuk melumpuhkan kelompok yang bersembunyi di pegunungan di Kabupaten Poso tersebut. Dari Operasi Camar Maleo jilid pertama sampai keempat, hingga Operasi Tinombala, Santoso tak juga berhasil ditangkap.
Pengamat terorisme dari Institut for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, kelompok Santoso sejatinya bukan kelompok yang paling penting. Meskipun pada kurun waktu 2013-2014, mereka sempat menggandeng jaringannya di luar Poso untuk menebar ancaman di beberapa daerah. Faktanya, aktivitas kelompok tersebut pada akhirnya selalu berhasil digagalkan.
"Santoso ini jaringan kecil di pegunungan Poso, dikepung sejumlah besar personel TNI-Polri dan tidak terkoneksi baik dengan kelompok lainnya, kecuali dari Filipina dan kelompok Bima," ujarnya pada Republika, Selasa (1/3).
Fahmi berpendapat, ada yang salah dengan perburuan Santoso. Sebab, meski negara sudah menggelontorkan anggaran yang besar serta ribuan personel sudah diterjunkan, hingga saat ini TNI-Pori baru berhasil melumpuhkan pengikut-pengikutnya. Sementara Santoso, pemimpin kelompok tersebut belum berhasil ditangkap.
"DPR saya kira layak mempertanyakan keseriusan Polri. Jangan sampai ada kesan ini hanya proyek, terutama untuk peningkatan anggaran pemberantasan terorisme," tegasnya.
Fahmi juga melihat tak ada strategi baru dalam Operasi Tinombala. Padahal, kegagalan dalam Operasi Camar Maleo sebelumnya harusnya membuat TNI-Polri melakukan evaluasi dan mengubah strategi dalam perburuan tersebut.
"Saya mendengar keluhan dari lapangan bahwa Santoso sebenarnya kerap sudah 'terkunci.' Tapi karena perintah aksi datang sangat lambat, sehingga lagi-lagi terlepas. Tentu informasi ini perlu diverifikasi dulu oleh Polri-TNI," katanya.