Jumat 04 Mar 2016 18:15 WIB

Plastik Berbayar tak Boleh Sepenuhnya Dilepaskan ke Konsumen

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Winda Destiana Putri
 Kantong belanja mulai dijual untuk menyukseskan program pengurangan kantong plastik di salah satu toko ritel Kota Bandung, Ahad (21/2). (Republika/Edi Yusuf)
Kantong belanja mulai dijual untuk menyukseskan program pengurangan kantong plastik di salah satu toko ritel Kota Bandung, Ahad (21/2). (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Kebijakan pemerintah pusat tentang pemberlakuan plastik berbayar Rp 200 per kantong di toko ritel modern diterapkan sejak 21 Februari lalu.

Yayasan Wisnu yang bergerak di bidang lingkungan hidup di Bali mengatakan kebijakan ini semestinya tak seluruhnya dilepaskan ke konsumen, melainkan ada tanggung jawab terukur dari peritel terkait aliran dana hasil penjualan kantong plastik berbayar tersebut dimana belum ada payung hukum yang mengaturnya.

"Jangan sampai konsumen terkesan menyubsidi toko-toko ritel ketika membeli kantong plastik saat berbelanja, atau peritel mendapatkan uang tambahan dari konsumen tanpa jelas peruntukan akhirnya untuk apa," kata Suarnatha kepada Republika, Jumat (4/3).

Peruntukan akhir dari kebijakan plastik berbayar ini menurut Suarnatha masih belum jelas. Sebaran penggunaan plastik saat ini sangat luas mulai dari desa hingga kota. Key Performance Indicator (KPI) masing-masing pelaku usaha yang mengimplementasikan kebijakan pusat ini harus terukur.

Suarnatha mencontohkan, peritel-peritel besar yang beroperasi di Bali bisa membangun sistem kecil untuk menangani sampah plastik dengan mekanisme klaster per areal.

Perusahaan bisa membawahi beberapa banjar yang ada di Bali untuk mengolah sampah plastik. Masing-masing rumah tangga yang ada di banjar bertanggung jawab atas sampah plastik yang dihasilkan.

Biaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan samah plastik tersebut bisa diminta dari program tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).

Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (YLPKI) Bali, I Putu Armaya mengatakan pada dasarnya dukungan untuk kebijakan kantong plastik berbayar ini perlu didukung jika semangatnya untuk mencintai lingkungan. Hanya saja, mengubah kebiasaan masyarakat membutuhkan kebijakan yang lebih revolusioner.

Contohnya, ketika masyarakat harus membeli rokok lebih mahal, ternyata hal itu tak mampu mengubah perilaku masyarakat mengurangi konsumsi rokok. Jumlah perokok di Indonesia tetap tinggi.

Hal yang sama akan terjadi pada kebijakan kantong plastik berbayar dimana masyarakat pada akhirnya tetap membeli kantong plastik saat berbelanja sebab regulasi pemerintah terlampau lemah.

Menurut Armaya, salah satu jalan untuk mengurangi kantong plastik di pasar modern adalah regulasi dari pemerintah dimana peritel betul-betul menyediakan kantong plastik ramah lingkungan.

"Beli mahal tak masalah asalkan betul-betul ramah lingkungan," katanya.

Pelaku usaha juga perlu gencar melakukan sosialisasi, bukan hanya semangat memungut dana lebih tinggi. Alasannya, ketika konsumen membeli selembar kantong plastik, maka konsumen sudah tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Jika pada kenyataannya toko tidak menjual plastik ramah lingkungan, maka mereka bisa digugat sesuai dengan pasal 4 tentang hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan jasa, dalam hal ini kantong plastik yang dibeli. Sanksinya, kata Armaya pidana penjara lima tahun dan denda dua miliar rupiah.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement