REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya produk pembiayaan dari bank syariah untuk ongkos umrah mendapat perhatian publik. Pro kontra terjadi karena berangkat umrah dipandang lebih konsumtif.
Pakar ekonomi syariah Syafi'i Antonio mengatakan, tidak semua utang itu buruk meski tidak semua utang juga baik. Berutang untuk kegiatan produktif dibolehkan. Yang dilarang adalah utang tidak perlu dan di luar kemampuan si peminjam semisal hanya untuk gaya hidup.
Menurut anggota Dewan Pleno Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia ini, jika seseorang ingin baik, ia harus meningkatkan ilmu dan kapasitas spiritual. Salah satu jalan meningkatkan kapasitas spiritual adalah melalui perjalanan spiritual, termasuk umrah. Umrah dan membeli tas mahal sekadar untuk gaya dinilai berbeda.
''Para profesional punya disposible income yang jumlahnya sebenarnya cukup untuk umrah, tapi harus dikumpulkan dalam waktu tertentu. Mereka mampu. Bank syariah coba menjembatani dengan tarik kemampuan itu ke depan. Jadi bank syariah sebenarnya membiayai yang mampu,'' tutur Syafi'i di sela gelaran Keuangan Syariah Fair 2016, Jumat (4/3).
Struktur pembiayannya bisa ijarah (sewa) atau murabahah (jual beli) atau baiul manfaah (jual beli manfaat). Ia menganalogikan ini seperti paket pembiayaan pendidikan S2 yang harganya Rp 40 juta.
Berat bagi mahasiswa jika harus sekaligus membayar Rp 40 juta. Mahasiswa itu bisa bersekolah dengan mencicil. Ini tidak bisa dibilang konsumtif karena beda berbeda tujuan, produk dan analisis.
Apakah pembiayaan ini tidak berguna? Rektor Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia ini menilai tidak. Ini bentuk redifinisi disposible income. Rujukan pembiayaan umrah ada pada fatwa DSN MUI. Dia menilai sah saja jika berbeda pendapat. Namun, perbedaan ini tidak bisa mengubah fatwa karena fatwa hanya bisa diubah dengan fatwa baru.