REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Disfungsi khalifah Doktor Studi Islam University of Leiden Belanda Ali Mufrodi dalam buku yang berjudul Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menjelaskan, pada abad ke-20 nasionalisme Turki yang dipimpin Mustafa Kemal Ataturk tumbuh di wilayah Ustmani atau Turki Ottoman.
Nasionalisme Turki menyebabkan Kerajaan Ustmani terpuruk dari panggung sejarah pada 1924 dan digantikan dengan Turki modern yang berbentuk republik yang sekuler. Saat itu, Mustafa Kemal berpendapat dalam sidang Majelis Nasional Agung tahun 1922, jabatan sultan dan khalifah terpisah dalam sejarah. Khalifah berada di Baghdad, sedangkan sultan di daerah.
Maka, jabatan yang dipegang oleh penguasa Turki harus dipisah, sultan dihilangkan, tapi khalifah dipertahankan.
Usul tersebut diterima oleh Majelis Nasional Agung pada 1 November 1922, sehingga raja Turki hanya bergelar khalifah yang mengurusi masalah spiritual saja tanpa berkuasa atas urusan duniawi.
Sultan Muhammad VI Wahiduddin tidak setuju terhadap keputusan Majelis Nasional tersebut, sehingga dituduh sebagai pengkhianat oleh pihak nasionalis. Ia kemudian meninggalkan Istan bul. Sementara itu, kaum nasionalis mengangkat saudara sepupu Wahiduddin, yakni Abdul Majid sebagai khalifah.
(Baca: Kesultanan Islam Terakhir Runtuh, Ini Penyebabnya)
John Freely dalam tulisannya yang berjudul Inside the Seraglio menuturkan, setelah Majelis Nasional Agung Turki menghapus kesultanan pada 1 November 1922, Sultan Mehmed diusir dari Konstantinopel. Ia meninggalkan Turki menggunakan kapal-kapal perang Inggris Malaya pada 17 No vem ber. Ia pergi ke pengasingan di Malta. Meh med kemudian tinggal di Riviera, Italia.
Dengan penghapusan jabatan Sultan, dualisme kepemimpinan duniawi sudah tidak ada lagi. Kedaulatan berada di tangan Majelis Nasional Agung dan kekuasaan eksekutif berada di bawah Majelis negara. Khalifah Abdul Majid hanya berkedudukan sebagai lambang bagi Turki yang bersifat Islam.
Masalah yang muncul setelah itu ialah mengenai bentuk negara. Karena kedaulatan Turki sudah berada di tangan rakyat menurut Konstitusi 1921, negara harus berbentuk republik sebagaimana dikehendaki para tokoh nasionalis. Tetapi, kelompok Islam tidak setuju.
Mereka masih mempertahankan bentuk khilafah daripada bentuk lain. Majelis Nasional Agung memutuskan dalam sidangnya pada 29 Oktober 1923 bahwa Turki menjadi republik dan megangkat Mustafa Kemal menjadi presiden yang pertama.
Meskipun keputusan tersebut tidak disetujui oleh golongan Islam, mereka merasa puas dengan usulannya bahwa Islam adalah agama negara.
Dengan pengangkatan Mustafa Kemal menjadi presiden Turki maka terjadilah dualisme kepemimpinan di Turki. Di satu pihak, Abdul Majid sebagai khalifah didukung oleh umat Islam di Turki dan umat Islam di dunia yang ingin tetap mempertahankan khalifah.
Mustafa Kemal ingin menghapuskan jabatan khalifah dengan alasan bahwa jabatan tersebut merupakan milik umat Islam seluruh dunia. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika dibebankan hanya kepada Turki. Maka, ia mengusulkan supaya jabatan khalifah dihapuskan dari Turki yang sudah menjadi republik.
Dari hari ke-hari, kedudukan Mustafa Kemal semakin kuat di mata rakyat. Dalam kedudukannya sebagai panglima dari semua pasukan yang ada di Turki selatan Mustafa Kemal membentuk pemerin tahan tandingan di Anatolia sebagai imbangan terhadap kekuasaan Sultan Abdul Majid II di Istanbul. Hal ini dilakukannya karena ia melihat Sultan sudah berada di bawah kekuasaan sekutu.
Majelis Nasional Agung dalam sidang sejak Februari 1924 membicarakan hal tersebut dengan perdebatan yang sengit dan akhirnya memutuskan untuk menghapus jabatan khalifah pada 3 Maret 1924. Abdul Majid II yang menjabat kha li fah dipersilakan meninggalkan Turki. Ia bersama keluarganya menuju Swiss. Dengan demikian, dualisme kepemimpinan di Turki dapat teratasi.