REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sukuk Negara Indonesia (SNI) berdenominasi valuta asing diyakini masih diminati investor. Meski harga minyak masih menekan negara Timur Tengah, investor potensial lain dipercaya masih bisa diraih.
Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, pihaknya mengantisipasi penurunan harga minyak terhadap penurunkan likuiditas terutama di Timur Tengah. Namun melihat distribusi pemegang SNI, investor Timur Tengah memegang 41 persen dan 59 persen sisanya adalah investor yang tersebar di Asia, Eropa, dan Amerika.
''Yang 59 persen perlu diberi perhatian lebih dan porsi investor Timur Tengah kemungkinan tidak sebanyak tahun lalu. Eropa dan Amerika masih ada harapan. Kami yakin SNI masih bisa diserap baik,'' tutur Robert usai konferensi pers hasil penjulan sukuk negara ritel seri SR-008 di Jakarta, Senin (7/3).
Kementerian Keuangan juga sedang mencermati kondisi untuk mencegah kelebihan (crowding out) surat utang. Likuiditas domestik, kata Robert, tidak terlalu banyak. Karena itu porsi asing akan ditambah untuk mencegah crowding out di pasar domestik. Kementerian Keuangan akan berkoordinasi dengan BI untuk melihat likuiditas agar tidak kelebihan surat utang dibandingkan permintaan.
Soal kewajiban pelaku industri keuanga nonbank menempatkan dana pada surat utang negara, Robert mengatakan kewajiban itu akan efektif pada akhir 2016 dan besarannya pun diatur. Ini tidak akan memengaruhi kebijakan penerbitan surat berharga negara di dalam dan luar negeri.
''SBN dalam rupiah mencapai 70 persen dari target bruto penerbitan Rp 540 triliun tahun ini. Jadi masih besar,'' kata Robert.
Baca juga: Hasil Penjualan Sukuk Ritel 008 Lebihi Target