Senin 07 Mar 2016 20:28 WIB

Kecerdasan dalam Islam

Seorang yang malas dengan amalan-amalan akhirat merupakan indikasi bahwa keyakinannya pada akhirat itu lemah.
Foto: Antara/Iggoy El Fitra/ca
Seorang yang malas dengan amalan-amalan akhirat merupakan indikasi bahwa keyakinannya pada akhirat itu lemah.

Oleh: Imam Namawi

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umumnya manusia beranggapan bahwa kecerdasan itu berkorelasi kuat dengan kemampuan daya cipta dalam hal sains dan teknologi. Tetapi, lupa mengaitkan secara erat dengan pengamalan agama sehingga kehidupan dunia yang sejatinya sarana malah berubah menjadi tujuan.

Rasulullah bersabda, "Orang cerdas adalah yang mau mengoreksi dirinya dan berbuat untuk (kehidupan) setelah kematian." (HR Tirmidzi).

Memaknai hadis ini, Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud orang cerdas adalah orang yang senantiasa menghitung-hitung amal perbuatannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab.

"Hisablah (buatlah perhitungan untuk) diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan, bersiaplah untuk menghadapi hari yang besar, yakni hari diperlihatkannya amal seseorang sementara semua amal kalian tidak tersembunyi dari-Nya."

Dengan demikian, kecerdasan bukan sebatas akumulasi ilmu, kemampuan berkarya cipta, dan mengembangkan usaha semata. Tetapi, lebih pada apakah diri ini telah benar-benar meyakini hari pembalasan atau tidak sehingga segenap effort yang dilakukan tidak lain adalah demi tegaknya agama.

Salah satu sebab mengapa kebanyakan manusia ingkar kepada Allah Ta'ala adalah karena lemahnya iman terhadap hari pembalasan. Dalam konteks ini, mereka benar-benar tidak cerdas, seperti yang Allah jelaskan di dalam Alquran.

"Mereka bertanya, 'Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?' Katakanlah, 'Yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh itu adalah Dzat yang telah menciptakannya pada awal kejadian." (QS Yasin [36] 78-79).

Ayat tersebut memberikan penegasan bahwa dengan segenap kemampuan akal dan indranya, manusia tidak akan pernah bisa menjangkau bagaimana Allah "bekerja." Tetapi, sebagai makhluk yang dipilih untuk mendapatkan hidayah-Nya dan diberikan kemampuan berpikir, maka sangat jelas bahwa Allah mampu melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya, sekalipun di luar nalar manusia. Namun, dengan ilmu semua bisa diyakini.

Oleh karena itu, ilmu yang merupakan bukti kecerdasan seseorang dalam Islam berkaitan sangat kuat dengan keimanan (QS 3:18) dan tidak akan hadir rasa khasyah (takut) kepada Allah melainkan orang-orang yang berilmu (QS 39: 9).

Dengan kata lain, kecerdasan dalam Islam adalah keimanan dan amal saleh. Rasulullah bersabda, "Allah tidak memberi seseorang anugerah yang lebih utama selain pemahaman (ilmu) tentang agama (Islam). Dan, seseorang yang berilmu lebih sulit diperdaya oleh setan daripada seribu ahli ibadah yang tidak memiliki ilmu. Setiap sesuatu memiliki tiang dan tiang agama itu adalah ilmu agama." (HR Thabrani).

Ikrimah berkata, "Ilmu agama sungguh sangat berharga bagi manusia. Jika engkau sematkan ilmu agama itu kepada diri seseorang, niscaya ia akan membawanya kepada kebaikan; dengan tidak menyia-nyiakan fungsi hidup di alam dunia ini." Jadi, orang yang cerdas adalah yang menegakkan agama demi maslahat dunia-akhirat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement