Senin 07 Mar 2016 23:13 WIB

Menkeu: Presiden Berwenang Tetapkan Negara dalam Keadaan Krisis Keuangan

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengusap mata sebelum memberikan keterangan kepada wartawan tentang realisasi sementara APBNP 2015, di Jakarta, Rabu (27/1).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengusap mata sebelum memberikan keterangan kepada wartawan tentang realisasi sementara APBNP 2015, di Jakarta, Rabu (27/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memastikan Presiden berwenang untuk menetapkan negara dalam keadaan krisis keuangan, setelah mendapatkan rekomendasi dari Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).

"FKSSK yang membuat rekomendasi, dan Presiden yang menetapkan," kata Bambang saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR membahas draf RUU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) di Jakarta, Senin.

Rapat kerja yang dihadiri BI, OJK dan LPS tersebut membahas beberapa pasal dalam RUU PPKSK, dahulu RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), yang masih belum menemukan titik temu antara pemerintah dengan lembaga legislatif.

Kewenangan Presiden tersebut masuk dalam pasal 37 RUU PPKSK yang menyatakan Presiden bisa memutuskan status sistem keuangan sesuai rekomendasi atau menolak rekomendasi yang diajukan FKSSK paling lambat 1x24 jam.

Selain itu, dalam pasal 40 RUU PPKSK juga tercantum apabila terjadi permasalahan dalam sektor perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, FKSSK merekomendasikan penyelenggaraan program restrukturisasi perbankan kepada Presiden.

Bambang menambahkan keputusan Presiden atas krisis tersebut akan ditetapkan melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) atau aturan hukum lainnya yang sejenis, agar berkekuatan hukum tetap.

Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengatakan definisi krisis keuangan yang bisa berdampak kepada sektor perbankan akan diputuskan FKSSK sebelum dilaporkan kepada Presiden.

Menurut dia, penentuan krisis di FKSSK tersebut bisa dilakukan secara musyawarah mufakat atau pemungutan suara, tergantung dari penilaian Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam mendefinisikan krisis keuangan.

"Kalau mufakat tidak bisa tercapai, maka dilakukan voting. Tapi, LPS tidak memiliki 'voting rights', jadi otomatis cuma tiga institusi yang bisa melakukan 'voting'," jelas anggota merangkap Kepala Eksekutif LPS ini.

Ketua Komisi XI DPR RI Ahmadi Noor Supit mengatakan kewenangan Presiden dalam menetapkan terjadinya krisis keuangan dalam RUU PPKSK sangat penting, apalagi kondisi yang bisa menganggu stabilitas sistem perbankan, situasinya setara dengan perang.

"Di konstitusi kita, Presiden dalam keadaan darurat bisa menyatakan perang, kenapa urusan krisis (keuangan) Presiden tidak mempunyai ruang gerak? Jadi kalau dalam RUU ini, masa krisis tidak kita cantumkan kewenangan (Presiden), itu tidak fair," jelasnya.

Ahmadi pun meminta agar Presiden, sesuai pasal dalam RUU PPKSK, mau mengikuti rekomendasi yang sudah diusulkan oleh FKSSK, agar pencegahan terhadap krisis bisa dirumuskan dan segala tindakan bisa diambil dalam waktu singkat.

"Tidak apa-apa, kalaupun mau berjalan seperti biasa, tapi yang namanya krisis bisa menjatuhkan pemerintahan," kata politisi Partai Golkar ini.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement