REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Guntur, Jakarta, menggugat praperadilan terhadap Jaksa Agung yang mendeponir (kesampingkan) perkara tersangka Novel Baswedan, Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto. "Semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum tanpa pengecualian sesuai UU 1945 Pasal 27 Ayat (1)," kata kuasa hukum LBH Guntur Desyana di Jakarta, Selasa (8/3).
Desyana mengatakan, praperadilan tersebut untuk menguji sejauh mana Jaksa Agung berkomitmen terhadap penegakan hukum. Bukan karena instruksi Presiden sehingga mencari jalan keluar untuk memutihkan atau memetieskan perkara.
Dia mengatakan, tindakan Jaksa Agung mendeponir Novel Baswedan, Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto sangat melukai para pencari keadilan, termasuk korban meninggal dunia atas penembakan dari tersangka Novel Baswedan.
Menurut dia, adalah fakta bahwa kasus yang melibatkan oknum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan standar ganda. Di mana, oknum KPK merasa paling independen dalam penanganan perkara korupsi.
"Tapi, ketika terjerat perkara hukum, oknum KPK meminta belas kasihan masyarakat dengan cara membentuk opini di media dengan tujuan campur tangan Presiden untuk memutihkan kasus tersebut," katanya.
Dia menambahkan, bila oknum KPK terlibat pidana, petinggi KPK melindungi dan mengeluarkan pernyataan kriminalisasi, pelemahan. Padahal, seharusnya sebagai penegak hukum, KPK harus taat hukum dan memegang asas praduga tidak bersalah serta menyerahkan kepada lembaga peradilan.
Novel Baswedan diduga melakukan penganiayaan dan penyiksaan terhadap enam pencuri sarang burung walet, seorang di antaranya tewas tertembak, di Bengkulu, pada 2004 saat menjabat sebagai kasat reserse Polres Bengkulu.
Abraham Samad diduga melakukan tindak pidana pemalsuan surat dan tindak pidana admistrasi kependudukan di Makassar, Sulawesi Selatan, dengan ancaman hukum maksimal delapan tahun penjara.
Sedangkan, kasus Bambang Widjojanto terkait dugaan memberikan kesaksian palsu pada sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010.
Menurut Desyana, semua perkara tersebut telah melalui proses penyidikan yang profesional oleh kepolisian dan berkas telah selesai. Artinya, bukti permulaan yang cukup telah dipenuhi, termasuk saksi segera dilimpahkan ke pengadilan, bukan dihentikan.
Desyana menambahkan, LBH Guntur didirikan oleh para tahanan KPK dan gugatan praperadilan tersebut ditandatangani oleh OC Kaligis, Suryadharma Ali, Antonius Bambang Djatmiko, dan Made Maregawa.
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman mempertanyakan tindakan Jaksa Agung dan menilai proses hukum melalui mekanisme deponir berpotensi mengundang kegaduhan publik.
Irman mengatakan, kalau mau memperoleh keadilan yang terukur, tempatnya di pengadilan, bukan dilakukan deponir. Hal ini merupakan pelajaran berharga agar penyidik tidak mudah mengeluarkan deponir.