Selasa 08 Mar 2016 19:06 WIB

Dana Restorasi Gambut Diminta Dibuat Kesepakatan Antarpemerintah

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Nur Aini
Pekerja membuat sumur bor di sekitar lahan gambut di Palangka Raya, Kalteng, Kamis (29/10).
Foto: Antara/Saptono
Pekerja membuat sumur bor di sekitar lahan gambut di Palangka Raya, Kalteng, Kamis (29/10).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA  --  Pendanaan asing baik hibah maupun pinjaman untuk kegiatan Badan Restorasi Gambut (BRG) harus menjadi kebijakan Government to Government (G to G). Pengamat ekonomi Aviliani mengatakan kebijakan G to G menjamin penguatan transparansi dan akuntabilitas.

Menurut Aviliani, pendanaan langsung kepada kelompok tertentu dan LSM lingkungan harus dihindari agar tidak menimbulkan kontroversi. Apalagi,  masyarakat dan dunia usaha di Indonesia tidak percaya kepada kredibilitas LSM lingkungan.

Aviliani juga meminta  pemerintah mengumumkan nama-nama LSM terlibat dalam kegiatan restorasi tersebut. “Masalahnya, banyak LSM yang tidak kredibel di sekitar pemerintahan. Mereka  kerap mengatasnamakan lingkungan, namun mengusung kepentingan lain,” kata Aviliani di Jakarta, Selasa (8/3).

Aviliani mengatakan pemerintah tidak boleh mengabaikan peran dunia usaha yang telah menginvestasikan dana cukup besar pada kegiatan  sosial dan lingkungan. “Jauh sebelum BRG bediri, dunia usaha seperti industri kepala sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah  membantu kehidupan sosial masyarakat dan merehabilitasi kawasannya".

Direktur Tropical Peat Research Laboratory (TPRL) Malaysia Lulie Melling mengatakan semua kegiatan pemanfaatan lahan perkebunan  di Malaysia diatur pemerintah agar terintegrasi. Pemerintah juga menaruh perhatian tinggi dan mendanai riset pemanfatan lahan untuk menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi.

Semua kegiatan riset  berlangsung dalam perencanaan jangka panjang yang hasilnya dihormati bersama.

Itu berarti, ketika pemerintah memberi izin konsesi, pemerintah juga melindungi kegiatan korporasi tersebut dari semua gangguan, termasuk kampanye hitam LSM yang juga marak di Malaysia.

”Pemerintah sangat memproteksi korporasi karena teruji dan memberi dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Malaysia tiga kali terselamatkan dari krisis ekonomi karena peran industri perkebunan,” kata Lulie Melling.

Pengamat Lingkungan dan kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Ricky Avenzora sependapat jika pendanaan BRG yang bersumber dari negara donor perlu diamati serta diawasi aturan mainnya. Menurutnya, jangan sampai negara dan bangsa kita diatur bangsa asing serta kemudian dijerat utang. Indonesia harus belajar dari pengalaman REDD (Reducing Emission from Deforeststasion and Forest Degradation).

“Saya yakin Presiden Jokowi sangat paham duduk perkara kegagalan REDD, namun sayang presiden sepertinya belum merdeka dari jajahan para mafia donor lingkungan yang berkeliaran di sekitar beliau,” kata Ricky.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement