REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Indonesia menjadi sasaran empuk peredaran produk makanan dari luar negeri. Tak hanya negara-negara ASEAN, produk ini juga berasal dari negara lain, seperti Cina, Korea, Jepang, dan Taiwan.
Keberadaan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia menjadikan isu halal sebagai daya pikat yang menarik bagi para konsumen. Oleh karena itu, banyak produsen makanan dari luar negeri berupaya mencantumkan label halal pada produknya.
Saat ini, hampir semua pasar modern dan pasar swalayan di kota-kota besar di Indonesia dibanjiri produk impor. Demi mendulang untung, tak sedikit produk tersebut yang mencantumkan label halal palsu.
"Hasil penelitian Halal Watch di pasar modern dan awalayan di beberapa kota besar menunjukkan adanya pemakaian label halal pada produk makanan kemasan yang sebenarnya tidak melakukan sertifikasi," kata Direktur Eksekutif Halal Watch Indonesia Ikhsan Abdullah kepada Republika.co.id, Rabu (9/3).
Menurut Ikhsan, ada dua jenis pelanggaran yang sering ditemukan. Pertama, produsen makanan asing mencantumkan logo halal lain, bukan dari LPPOM MUI atau negara lain yang sudah memiliki kesetaraan dengan MUI, misalnya Malaysia, Brunei Darussalam, Australia, New Zealand dan beberapa negara lain.
Kedua, produsen menggunakan logo halal Asia Pasifik dan dicetak remang-remang, sehingga tidak terbaca dan dapat mengelabui masyarakat. Ikhsan mencatat, selama bulan Januari hingga Februari 2016 saja, ditemukan sekitar 15 produk makanan asing dengan label halal palsu.
Kasus ini ditemukan di Medan, Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Produk-produk tersebut umumnya berasal dari Cina dan Korea. "Produknya juga sudah kita siapkan, sudah kita beli. Ada beberapa di kantor untuk sampel dan bukti," kata Ikhsan.