REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemimpin tertinggi ketiga Cina mengatakan, negaranya mengambil pendekatan khas Cina untuk kemanan nasional dalam merakit undang-undang baru, termasuk undang-undang kontraterorisme. Ini disampaikan Zhang Dejiang, pada Rabu (9/3), merespon kritikan Barat atas hukum-hukum baru Cina.
Sebelumnya pada 27 Januari, duta besar Amerika Serikat, Kanada, Jerman dan Jepang menandatangani surat yang menyuarakan kegelisahan mereka mengenai hukum kontraterorisme, rancangan hukum keamanan siber dan rancangan undang-undang pengelolaan organisasi non-pemerintah asing. Baru-baru ini duta besar dari delegasi Uni Eropa untuk Cina mengirim surat senada yang mengungkapkan kekhawatiran mereka.
Hukum keamanan siber dan kontraterorisme akan mengatur tentang kekuatan untuk sweeping bagi pemerintah untuk memerangi ancaman yang dirasakan. Dari sensor, hukum ini meluas menjadi kontrol tinggi terhadap teknologi tertentu.
Sementara kritik untuk undang-undang terorisme mengatakan, hal itu bisa ditafsirkan sedemikian rupa hingga para pembangkang non-kekerasan juga bisa masuk dalam definisi terorisme.
Zhang Dejiang yang mengepalai sebagian besar 'stempel' parlemen mengatakan di sidang tahunan bahwa Cina telah meletakkan dasar hukum yang kuat untuk mempercepat pembentukan sistem keamanan nasional. Undang-undang itu menurutnya mengambil pendekatan khas Cina untuk keamanan nasional.
"Perbaikan hukum kontraterorisme kami akan menjadi sangat penting untuk mencegah dan menghukum aksi teroris menurut hukum, untuk melindungi keamanan nasional dan publik dan demi melindungi kehidupan dan properti," ujar Zhang.
Cina telah menyalahkan serangan di wilayah Xinjiang pada kelompok militan. Kelompok hak asasi dan orang-orang buangan mengatakan kontrol Cina pada agama dan budaya Uighur lah penyebab kerusuhan. Cina menyangkal setiap penindasan di Xinjiang.
Cina juga mengatakan menghadapi ancaman dari radikal Xinjiang yang bepergian ke Timur Tengah untuk bergabung dengan kelompok seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).