REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukan peningkatan jumlah pekerja asing, yang pada Januari 2016 melonjak 73,46 persen dibandingkan Desember 2015. Namun, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyangkal data tersebut.
Menurutnya, berdasarkan data yang dimiliki pemerintah menyangkut izin mempekerjakan tenaga asing, dari bulan Januari-Februari. Jika dibandingkan bulan Januari 2016 dengan Januari 2015 angkanya justru malah menurun.
''Jadi kalau yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik yang katanya kenaikan sekitar 74 persen, itu kunjungan, intensitas,'' kata Hanif, saat rapat RDP dengan Komisi IX, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (10/3).
Ia mencontohkan, ada satu orang bolak-balik dari luar negeri ke Indonesia itu dicatat oleh BPD. Kunjungan paling banyak ada di Batam, karena orang hilir mudik dari Singapura. Orang asing itu pegang satu IMTA atau Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, tapi IMTAnya keluar masuk Indonesia. Jadi kalau sebulan dua kali keluar masuk, dicatatnya dua orang.
Artinya, lanjut dia, kalau angka kunjungan ini membuat revenue negara naik. Tapi, hal itu tidak mencerminkan besaran tenaga kerja asing yang bekerja, karena wisatawan asing pun masuk dalam data BPS.
''Kalau jumlah tenaga kerja asing di Indonesia, datanya justru malah menurun. Dari tahun 2011 sampai 2016 itu trennya menurun,'' ucap dia.
Hanif memaparkan, pada tahun 2011, jumlah tenaga kerja asing sekitar 77 ribu, 2012 ada 73 ribu, 2013 berjumlah 69 ribu, pada 2014 sekitar 68,900, sementara 2015 ada 69 ribu. Sehingga, sampai 2016, rata-rata jumlah tenaga kerja sing sebesar 70 ribu pertahun.
Angka tersebut pun, katanya, tergantung pembanding. Karena orang Indonesia kadang melihat angka 70 ribu itu besar, sementara kalau dibandingkan dengan banyak negara lain jumlah ini tentu lebih kecil. Contohnya Malaysia, jumlah penduduk cuma 28 juta jiwa. Tapi, TKI disana sebesar dua juta jiwa. Sementara Hongkong ada 133 ribu, Singapura yang penduduknya hanya tiga juta orang, TKI disana sudah ada 150 ribu.
''Jadi kalau membandingkan tidak bisa melihat angkanya. Sama seperti PHK, ada 1500 orang Januari-Februari, besar atau tidak tergantung angka pembandingnya,'' ucap dia.
Hanif menambahkan, MEA banyak disalah pahami dan dipenuhi oleh mitos-mitos yang membuat masyarakat khawatir, dimana seolah-olah semua menjadi terbuka. Padahal, dari segi profesi hanya 8 dan hanya berlaku pada 12 sektor.
Profesi itu pun spesifik dan tidak umum, melainkan lebih dari sekedar skilled seperti jabatan Direksi, sementara dibawah itu tidak bisa.
Karena itu, harus ada pemahaman yang sama mengenai standar kompetensi di satu negara dengan negara lain, apakah lebih rendah atau sama. Misalnya Indonesia memiliki standar yang lebih tinggi, sementara negara Asean lain lebih rendah, begitu juga sebaliknya.
''Intinya adalah ketika seseorang dianggap skill di suatu negara, dia juga dianggap skilled di negara lain,'' jelas dia.