REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memilih maju dari jalur independen pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Bermodal dukungan dari 'Teman Ahok', keputusan mantan Bupati Belitung Timur itu lantas mengundang sejumlah respons politisi dan pengamat. Langkah Ahok dinilai memicu deparpolisasi.
Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Mohammad Hailuki, menilai, sejatinya bukan semata-mata Ahok yang melakukan atau memicu deparpolisasi. "Ahok hanya membuat opsi-opsi. Deparpolisasi sebenarnya dilakukan oleh masyarakat yang mulai tidak percaya pada parpol," ujar Hailuki kepada Republika.co.id, Kamis (10/3).
Peneliti di Centre for Indonesian Political and Social Studies (CIPSS) itu menambahkan, salah satu faktor penurunan kepercayaan masyarakat atas partai politik, bisa disebabkan oleh adanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan kader-kader parpol.
"Sehingga parpol dianggap tidak lebih dari kumpulkan koruptor atau pencetak koruptor. Padahal, kenyataannya mungkin parpol-parpol sudah melakukan pembenahan diri dan kaderisasi," kata dia.
Lebih lanjut, Hailuki menjelaskan, deparpolisasi jangan dilihat sebagai bentuk sanksi, hukuman, atau mimpi buruk bagi parpol. Namun, derparpolisiasi merupakan konsekuensi logis yang timbul ketika parpol dianggap tidak mejalankan fungsi-fungsinya secara tepat. Munculnya deparpolisasi, kata dia, sebenarnya menjadi momentum buat parpol untuk bisa mengevaluasi diri.
"Kalau tidak mau ada deparpolisasi, maka perbaiki dong fungsi-fungsi dari parpolnya, mulai dari pendidikan politik, rekrutmen politik, komunikasi politik, dan kaderisasi politik,'' ujarnya.
Hailuki juga menyebut, munculnya calon independen juga tidak bisa dilihat sebagai pemicu deparpolisasi. Dalam sistem politik Indonesia, calon independen memang dirancang sebagai salah satu jalan alternatif ketika parpol tidak berfungsi baik karena dianggap dikuasai oligarki.
(Baca: Bantah Antiparpol, Ahok: Saya Lawan Deparpolisasi)