REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Menurut sebuah laporan terbaru PBB, pemerintah Sudan Selatan telah memberlakukan kebijakan 'menghancurkan' bagi warga sipil yang terjebak dalam perang saudara di negara tersebut. Pemerintah Sudan Selatan disebut mengizinkan tentara dan milisi sekutu memperkosa permpuan sebagai pengganti upah, penyiksaan, pembunuhan terduga lawan dan sengaja menyebabkan pengungsian sebanyak mungkin.
Dilansir laman The Guardian, dokumen mengerikan tersebut diterbitkan pada Jumat (11/3) oleh UN High Commissioner for Human Rights. Dokumen ini hadir enam bulan setelah terungkapnya kesaksian mengenai penculikan sistematis dan pelecehan ribuan perempuan dan anak perempuan selama konflik.
Laporan menunjukkan kedua pihak melakukan kekejaman tersebut sejak pecah perang pada Desember 2013. Laporan memperingatkan bahwa mereka mungkin terlibat dalam kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusaiaan. Sebagian besar korban sipil menjadi sasaran serangan yang disengaja ditargetkan dari operasi tempur.
Dari April hingga September tahun lalu, PBB mencatat lebih dari 1.300 laporan kejahatan perkosaan. Pada 2014, PBB melaporkan, pasukan oposisi mengubah sejumlah area di kota seperti gereja, masjid, dan rumah sakit sebagai perangkap bagi warga sipil.
"Jika Anda terlihat muda dan cantik, sekitar 10 pria akan memperkosa perempuan itu. Kalau perempuan lebih tua diperkosa sekitar tujuh sampai sembilan orang," kata salah seorang saksi.
Laporan mencatat, praktik pemerkosaan telah diterima oleh tentara Sudan People’s Liberation Army (SPLA) dan milisi bersenjata yang berafiliasi. Tim penyelidik diberitahu, bahwa milisi pemuda yang melakukan serangan bersama SPLA memiliki perjanjian mereka dapat melakukan atau mengambil apapun yang mereka mau.
"Sebagian besar pemuda karena itu juga menggerebek ternak, mencuri milik pribadi, memperkosa dan menculik perempuan dan anak perempuan sebagai bentuk pembayaran," kata laporan PBB.