REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terduga teroris dari Klaten, Jawa tengah, Siyono (39) tewas setelah penangkapan yang dilakukan dalam operasi teroris oleh Densus 88, Sabtu (12/3) lalu. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari banyak pihak, salah satunya adalah apakah tindakan yang dilakukan satuan khusus dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut tepat.
Bahkan, pihak dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan pihak kepolisian harus memberi klarifikasi jujur kepada publik terkait kemtaian Siyono. Hal ini agar tidak muncul dugaan tindakan yang dilakukan oleh Densus 88 telah melampaui batas kewajaran dan tidak memperhatikan hak-hak terduga teroris yang juga merupakan warga negara.
Meski demikian, Organisasi masyarakat (ormas) Islam Al Washilyah mengatakan pihak kepolisian bisa saja melakukan tindakan tertentu yang bersifat pencegahan secara lebih maksimal. Hal ini karena tidak sedikit pelaku dapat tertangkap setelah tindakan terorisme seperti pengeboman yang mengakibatkan banyak orang tewas terjadi.
"Mungkin ada upaya-upaya yang dilakukan pihak kepolisian, seperti perlakuan mereka terhadap terdug teroris yang sebenarnya bersifat preventif. Itu harapan kita, semoga saja memang demikian," ujar ketua umum Al Washliyah, Yusnar Yusuf kepada Republika, Senin (14/3).
Sebelumnya, penangkapan Siyono diketahui merupakan pengembangan dari terduga teroris lainnya berinisial T alias AW. Setelah penangkapan korban dilakukan dengan pengawalan ketat, ia dibawa ke sebuah lokasi.
Saat di perjalanan, Siyono dikatakan melakukan perlawanan, bahkan menyerang anggota Densus 88 yang mengawal dirinya. Hal ini berujung pada perkelahian, yang mengakibatkan dirinya tewas.