REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengkajian Bambang Sadono menyatakan, tahapan amendemen UUD kini sudah memasuki tahapan perumusan. Sebab, proses pengkajian sudah dilakukan pada 2015.
Menurut Bambang, rekomendasi kepada MPR periode saat ini agar melakukan penataan sistem ketatanegaraan melalui amendemen UUD. Ada 44 orang di Badan Pengkajian, dengan empat wakil ketua.
Tugas amendemen itu disusun dalam sebuah renstra atau rencana strategis. Ada 15 topik yang harus dikaji yang dibagi dalam lima kelompok.
Kelima kelompok itu membahas Pancasila, posisi MPR (kewenangan), pemerintahan (sistem presidensial), penguatan atau penataan kembali DPD, dan pembahasan kewenangan Mahkamah Agung, MK, dan KY.
''Kami merumuskan dengan berkomunikasi dengan tokoh masyarakat, daerah, politik dan perguruan tinggi. Lalu, 2016 kita fokuskan agar temanya makin mengerucut,'' kata Bambang dalam diskusi majelis di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/3).
Sebab, apa yang dilakukan MPR pada umumnya mendapat respons positif dari fraksi-fraksi. Ada beberapa topik yang menarik, seperti PDIP yang mengusulkan reformulasi konsep pembangunan model GBHN dengan adendum.
Artinya, lanjut dia, amendemen itu sekaligus menjawab anggapan masyarakat ini tidak akan merembet ke mana-mana. Poin yang akan diubah harus disebutkan pasalnya dengan jelas, bunyi perubahan, dan argumentasi jelas.
''Setelah mengkaji, kita akan melakukan perumusan-perumusan. Maka, kita sudah mulai menjabarkan kembali kesimpulan yang sudah dilakukan 2015,'' ujarnya.
Anggota Badan Pengkajian TB Soenmandjaja menilai, banyak yang ingin menabrakkan UUD pascaperubahan dengan UU yang asli. Perubahan UUD yang terakhir juga bukan inisiatif MPR, melainkan dari mahasiswa, aktivis, dan lainnya.
Pascadicabutnya TAP MPR No 2 Tahun 1978 oleh MPR hasil Pemilu 97, serta dicabutnya TAP No 2 Tahun 1998 berdampak besar terhadap Pancasila. Setelah itu, seketika Pancasila tidak terdengar lagi.
''Bahkan, 60 persen kepala daerah tidak hafal Pancasila,'' ucap politisi PKS tersebut.