REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati menyampaikan kronologi jemput paksa yang dilakukan penyidik KPK terhadap anggota Komisi V dari fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto.
"Tadi BSU (Budi Supriyanto) sudah datang dan sedang diperiksa. Kronologis jemput paksanya, karena ini panggilan kedua yang tidak dihadiri dan tidak ada alasan yang patut menurut penyidik, maka kemarin sore penyidik KPK dan dokter KPK terbang ke Semarang dilakukan jemput paksa di RS Muhammadiyah Roemani Semarang," kata Yuyuk di gedung KPK Jakarta, Selasa (15/3).
Budi tiba di gedung KPK sejak sekitar pukul 16.15 WIB. Ia juga tidak berkomentar mengenai jemput paksanya tersebut.
"Tim penyidik KPK dan dokter bertemu dengan tim dokter (rumah sakit), dan yang bersangkuta dinyatakan 'fit to travel' dan penyidik memutuskan untuk membawanya hari ini dari Semarang sekitar pukul 13.00 WIB dan di kantor KPK pukul 16.00 WIB lebih," ucap Yuyuk.
Menurut Yuyuk, Budi berada di rumah sakit untuk mengecek kesehatannya dan bukan sedang menjalani rawat inap. "Dia memang ada beberapa penyakit dan sedang mengecek penyakit tapi yang paling penting dia dinyatakan sehat untuk pergi ke sini," kata Yuyuk.
Pemanggilan paksa itu dilakukan karena pada pemanggilan pada Kamis (10/3) dan Senin (14/3) BSU tidak hadir. Pada panggilan pertama Budi hanya mengantarkan surat keterangan sakit dari RS Roemani Muhammadiyah Semarang untuk menjalani istirahat selama tiga hari, tanpa ada diagnosa penyakit.
"Kami konfirmasi ke rumah sakit tapi tidak ada diagnosa atas penyakit dan sesuai KUHAP kita sudah dua kali pemanggilan dan ternyata tidak datang juga tanpa alasan jelas, jadi dilakukan jemput paksa," kata Yuyuk menegaskan.
Namun Yuyuk tidak bisa menyebut penyidik KPK akan mengenakan pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi.
"Belum menyatakan (menghalangi penyidikan) dan sekarang diperiksa dan kooperatif saat dibawa. Penyidik saat pemeriksaan akan mengkonfirmasi kenapa BSU tidak datang dan membuat surat sakit tapi tidak ada diagnosanya," ujar Yuyuk.
Yuyuk pun belum dapat mengungkapkan apakah Budi akan langsung ditahan seperti sejumlah tersangka KPK lain yang dipanggil paksa dan langsung ditahan. Seperti pengacara Otto Cornelis Kaligis dan mantan Presiden Direktur PT Sentul City Tbk Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng.
"Untuk penahanan akan dikonfirmasi lagi karena sekarang BSU sedang diperiksa, tergantung kebutuhan penyidik untuk memeriksa BSU," tambah Yuyuk.
Dalam perkara ini, Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir diketahui mengeluarkan uang 404 ribu dolar Singapura agar PT WTU mendapat proyek-proyek di bidang jasa konstruksi yang dibiayai dana aspirasi DPR di provinsi Maluku yang dicairkan melalui Kementerian PUPR. Pada 2016, di wilayah II Maluku yang meliputi Pulau Seram akan ada 19 paket pekerjaan yang terdiri dari 14 jalan dan 5 jembatan dan masih dalam proses pelelangan.
Uang tersebut sebesar 99 ribu dolar Singapura diberikan kepada anggota Komisi V dari fraksi PDI Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti melalui dua rekannya Julia Prasetyarini serta Dessy A Edwin. Sedangkan 305 ribu dolar Singapura diberikan kepada anggota Komisi V dari fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto.
Budi pernah melaporkan uang tersebut kepada Direktorat Gratifikasi KPK pada 1 Februari 2016 tapi ditolak karena menyangkut tindak pidana korupsi yang ditangnai KPK. Abdul Khoir sendiri akan segera disidang sedangkan Budi belum pernah diperiksa KPK sebagai tersangka hingga saat ini.
Damayanti, Dessy dan Julia disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sedangkan Abdul Khoir disangkakan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.