REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta lebih jeli dalam menghadapi rencana pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar, menyusul rendahnya harga minyak dunia. Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menilai wacana penghilangan subsidi solar jangan hanya melihat dari momentum penurunan harga minyak dunia saja namun mempertimbangkan pula aspek daya beli masyarakat. Tak hanya itu, Arif juga menilai pentingnya melihat ketersediaan dana subsidi di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta pemanfaatan dana tersebut apabila tidak lagi digunakan sebagai subsidi solar.
"Harus diperhitungkan masalah aspek inflasinya, itu kan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, kemudian pertimbangan realokasi dana alokasi subsidi sendiri itu diarahkan ke mana. Misalnya pengembanagnsaranan prasarana perkembangan EBT," ujar Arif, di Jakarta, Selasa (15/3).
Arif menyebutkan, dari KEIN sendiri mengaku pihaknya sedang menyiapkan kajian mendalam mengenai perubahan bahwa BBM ke April nanti. Skenario yang ia maksud termasuk perubahan harga BBM, khususnya solar, yang masih dikenai subsidi atau tanpa subsidi.
"Kita harus melihat bagaimana tekanan terhadap inflasi, daya beli realokasi subsidi kemana kita lagi melakukan kajian mendalam soal itu," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mengungkapkan, mengacu pada biaya pokok BBM, sejatinya saat ini harga BBM sudah tidak lagi dikenai subsidi. Biaya pokok tersebut, kata dia, terkait dengan harga minyak mentahnya, biaya pengolahan minyak hingga distribusi BBM.
"Jadi harga jual baik solar maupun premium sudah diatas biaya pokok. Ini soal konsep. Diharapkan harga minyak yang saat ini tengah rendah, biaya pokok BBM sudah berada dibawah harga jual solar di pom bensin," kata Kurtubi.