REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI dinilai telah melakukan kesalahan atau blunder dengan memerketat syarat calon perseorangan di pilkada serentak. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, syarat calon perseorangan seharusnya sejalan dengan kehendak rakyat. Yaitu menurunkan prosentase syarat dukungan.
“Mestinya DPR jangan membuat blunder dengan melahirkan kebijakan yang tidak sejalan dengan kehendak publik dan jauh dari perbaikan atau peyelesaian problem pilkada kita,” kata Titi dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (16/3).
Titi menambahkan, munculnya fenomena calon tunggal terjadi karena warga negara dipersulit untuk menjadi calon kepala daerah. Baik melalui jalur perseorangan maupun partai politik.
Kalau DPR ingin berkaca dari pilkada serentak tahap pertama tahun 2015 lalu, seharusnya DPR mendorong untuk memermudah pencalonan kepala daerah. Yaitu dengan menurunkan syarat pengajuan calon bagi calon dari parpol maupun jalur perseorangan.
Menurut Titi, kalau syarat pengajuan calon dipermudah, maka akan muncul banyak calon kepala daerah. Hasilnya, masyarakat memiliki banyak alternatif calon di pilkada. Selain itu, bisa mencegah praktek jual beli pencalonan atau mahar politik karena terbatasnya ruang untuk menjadi calon kepala daerah.
DPR, imbuh Titi, sebaiknya fokus pada pembenahan substansial pilkada agar bisa menguatkan kualitas calon, kualitas partisipasi, dan juga kualitas representasi kepala daerah terpilih. DPR juga seharusnya membuat regulasi yang jelas soal momok politik uang agar berkualitas, dan bisa efektif dilaksanakan di lapangan.
"Salah kaprah menyetarakan syarat untuk mengajukan calon dari jalur parpol dengan syarat untuk menjadi calon perseorangan dengan alasan prinsip nondiskriminasi antara calon perseorangan dan calon parpol," ujar dia.
Titi menegaskan ada beberapa perbedaan antara calon perseorangan dengan calon yang maju melalui jalur parpol. Pertama, struktur calon perseorangan dengan parpol jelas berbeda.
Parpol sangat dimungkinkan membangun koalisi, sedangkan calon perseorangan tidak punya pola koalisi. Selain itu, parpol bergerak dengan struktur calon yang banyak, pada pemilu legislatif, dan mendapat bantuan keuangan dari negara pasca mereka terpilih. Sedangkan calon perseorangan mengandalkan individu dalam pencalonan.