REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan terapi hiperbarik atau oksigen bertekanan tinggi, kata Kepala Program Studi Peminatan Kedokteran Penyelaman dan Hiperbarik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr Mohammad Guritno Suryokusumo.
"Pada awalnya, terapi hiperbarik dilakukan pada pasien yang menderita penyakit akibat aktivitas menyelam. Namun, sejak abad 17 dan 18, terapi hiperbarik dikembangkan untuk pengobatan penyakit lainnya," kata Guritno dihubungi di Jakarta, Rabu (16/3).
Purnawirawan bintang satu TNI Angkatan Laut itu mengatakan para ahli hiperbarik telah melakukan konsensus tentang penyakit-penyakit apa saja yang bisa ditangani dengan terapi oksigen bertekanan tinggi sejak 1994.
Konsensus tersebut selalu diperbarui setiap 10 tahun sekali dan yang berikutnya akan dilakukan pada April 2016. Pembaruan jenis-jenis penyakit yang dapat ditangani dengan terapi hiperbarik dimasukkan setelah dilakukan uji invitro dan uji klinis serta harus dapat dibuktikan.
"Terdapat tiga kategori penyakit yang dapat ditangani dengan terapi hiperbarik, yaitu 'strong recommended', 'recommended', dan 'optional'," ujar Wakil Ketua Komite Etik Penelitian Kesehatan UPN Veteran Jakarta itu.
Guritno mengatakan pengobatan penyakit kategori "strong recommended" dilakukan hanya melalui terapi hiperbarik tanpa ada metode pengobatan lainnya. Penyakit-penyakit akibat aktivitas penyelaman biasanya termasuk dalam kategori "strong recommended".
Penyakit yang termasuk "strong recommended" antara lain dekompresi, emboli udara arteri, dan keracunan gas monoksida. Pada penyakit-penyakit yang termasuk kategori "recommended", terapi hiperbarik hanya sebagai tambahan karena tetap harus menjalani pengobatan sesuai dengan penyakitnya.
"Penyakit yang masuk kategori ini misalnya gangren akibat komplikasi diabetes. Terapi hiperbarik hanya sebagai tambahan karena pengobatan diabetesnya tetap harus dijalankan," tuturnya.
Sedangkan pada penyakit kategori "optional", terapi hiperbarik hanya menjadi pilihan. Penyakit kategori ini tidak masalah bila tidak ditangani dengan terapi hiperbarik. Karena itu, Guritno berharap kejadian di Rumah Sakit Angkatan Laut dr Mintohardjo Jakarta tidak membuat masyarakat takut dan enggan menjalani terapi hiperbarik. Apalagi, terapi hiperbarik dijalankan dengan standar keamanan dan operasional yang tinggi.