Rabu 16 Mar 2016 18:48 WIB

40 Ribu Karyawan Industri Bauksit Kena PHK

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Dwi Murdaningsih
kapal pengangkut bauksit
Foto: antara
kapal pengangkut bauksit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dampak larangan ekspor mineral mentah yang dikukuhkan dalam Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri membuat sejumlah industri mineral terpaksa memangkas ribuan karyawannya. Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) menilai, kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bahan mineral mentah sangat memberatkan. Ketua APB3I Erry Sofyan mengungkapkan, pihaknya mencatat setidaknya 40 ribu tenaga kerja di industri bauksit telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Ini karena pendapatan perusahaan berkurang. Pasca produksi diberhentikan akibat pelarangan tersebut," ujar Erry, dalam acara diskusi Indonesia Mining Outlook 2016, Rabu (16/3).

Erry juga mempertanyakan dasar pemerintah yang digunakan terkait pelarangan ekspor mineral mentah. Pasalnya, jika mengacu pada UU Minerba No.4/2009 tidak ada satu pun pasal yang mengatakan pelarangan izin ekspor mineral mentah.

"Efek pelarangan ini panjang. Apalagi adanya kerjasama yang terjalin dengan negara-negara yang selama ini menerima ekspor mineral mentah dari Indonesia," kata dia.

Dalam industri mineral sendiri, ia mengungkapkan pihaknya yang paling terkena dampak di mana ada 51 perusahaan penambangan bauksit.

"Kami berharap ada suatu perubahan. Kita lihat dari apa yang kita harapkan ke depan di sektor penambangan ini terutama mineral," ungkapnya.

Ia sendiri menilai, di dalam PP Nomor 3 Tahun 2010 Pasal 84 ayat 3 & 4 yang hingga saat ini masih berlaku, dinyatakan bahwa pemegang IUP dapat melakukan ekspor hasil tambangnya. Adanya larangan ekspor tersebut memberi efek berkelanjutan yang cukup panjang, termasuk kerjasama investasi antara perusahaan dalam negeri dan asing.

"Raksasa aluminium Rusia (RUSAL) batal investasi di Indonesia, Rusia MoU dengan PT Aneka Tambang Tbk pada 2007 dan PT Arbaya pada 2014 tidak pernah terealisasi. Hilangnya potensi penerimaan negara devisa masuk Rp 17,6 triliun. Kami membayar pajak Rp 4,1 triliun per tahun, PNBP Rp 0,6 triliun per tahun," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement