REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cara-cara penindakan dan pencegahan terorisme yang dilakukan Detasemen Khusus 88 (Densus 88) menjadi sorotan publik. Hal ini terjadi setelah terduga teroris dari Klaten, Jawa Tengah, Siyono (34 tahun) tewas di tangan pasukan antiteror itu pada pekan lalu.
Pengamat terorisme dari Certified International Investment Analyst (CIIA), Harist Abu Ulya mengatakan, kasus yang menimpa Siyono bukanlah yang pertama kali terjadi. Menurutnya, penangkapan yang dilakukan aparat Densus 88 sering kali tidak sesuai dengan prosedur.
Dia pun tak heran kematian terduga teroris bisa sering terjadi karena personil pasukan khusus itu bertindak secara tidak profesional. "Setidaknya sudah 120 terduga teroris yang tewas dalam proses penangkapan. Padahal, ini jelas prosedur hukumnya penangkapan, berarti mereka tidak profesional" kata Harits kepada Republika.co.id, Rabu (16/3).
Menurut Harits, Densus 88 perlu diberikan evaluasi oleh lembaga berwenang yang ditunjuk secara khusus. Dengan demikian, mereka bisa menerapkan tindakan yang sesuai dengan prosedur hukum, yang juga telah diajarkan pada pelatihan.
"Densus 88 kan sudah terlatih seharusnya. Mereka mendapat pelatihan bahkan dari Amerika Serikat (AS), masa untuk menangani terduga teroris masih seperti anak kecil karena katanya melawan, lalu dibunuh, kan tidak profesional sekali," kata Harits. (Pemerintah Didesak Bubarkan Densus 88).
Selain itu, Harits menuturkan, tak sedikit orang yang menjadi korban salah tangkap Densus 88. Setidaknya, ada 40 orang yang dikatakan merupakan pelaku teror dan ditangkap, padahal belum ada bukti jelas.
"Setidaknya kan harus ada dua alat bukti, baru orang yang diduga pelaku ditangkap. Nah, banyak sekali yang tidak seperti ini, jadi ditangkap dulu, baru dicari alat buktinya," kata Harits menambahkan.