REPUBLIKA.CO.ID, Nasab adalah keturunan atau kerabat. Pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah. Kata nasab di dalam Alquran disebutkan dalam tiga tempat. Pertama, dalam surat Al-Mukminun ayat 101 yang artinya, “Ketika sangkakala ditiup (kiamat) maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.
Kedua, dalam surat Al-Furqan ayat 54, “Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia berketurunan (nasab)..”Ketiga, dalam surat as-Saffaat ayat 158, yang berisi tuduhan umat Nabi Yunus AS yang ingkar bahwa Allah SWT dan jin berhubungan nasab.
Nasab dalam arti keturunan merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam keserasian antara kedua calon mempelai. Keserasian itu disebut dengan kafa’ah. Hal ini dimaksudkan agar tujuan perkawinan tercapai, yaitu ketenangan hidup berdasar cinta kasih dan sayang.
Nabi SAW bersabda, “Wanita dinikahi karena empat hal, karena agama, harta, kecantikan, dan nasab (keturunannya). Maka pilihlah agamanya maka akan menguntungkan kamu.” (HR Abu Dawud).
Namun apabila antara calon mempelai laki-laki dan perempuan terdapat hubungan nasab, maka dalam banyak hal diharamkan kawin di antara keduanya. Adapun nasab yang diharamkan untuk dikawini dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 23, yaitu ibu, nenek dari bapak atau dari ibu dan seterusnya ke atas; anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah; saudara perempuan sekandung, sebapak, dan seibu; anak perempuan saudara laki-laki sekandung, sebapak, dan seibu; saudara perempuan bapak, kakek, dan seterusnya ke atas; dan saudara perempuan ibu, nenek, dan seterusnya ke atas.
Hubungan sepersusuan juga bisa dianalogikan pada hubungan nasab (QS An Nisa [4]: 23), yaitu ibu dan saudara perempuan sepersusuan. Kedua orang ini diharamkan untuk dikawini oleh anak atau saudara sepersusuannya. Dalam kaitan ini, nasab yang haram dikawini disebut dengan muhrim.