Oleh: Prof. Nasaruddin Umar,
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Rukuk juga merupakan wujud tata krama dan keadaban individu (al-adab) dan sujud adalah wujud keakraban (al-qurb). Ini menjadi isyarat bahwa barang siapa yang ingin mendapatkan kedekatan dan keakraban dengan Allah SWT, maka terlebih dahulu ia harus melewati fase ketundukan dan keberadaban.
Jika orang gagal membangun ketundukan, biasanya juga akan gagal meraih kedekatan. Itulah sebabnya rukuk didahulukan, baru sujud. Kalangan ulama tasawuf menyebut rukuk adalah kefanaan awal (al-fana' al-awwal) dan sujud adalah kefanaan sempurna (al-fana' al-kamil). Bermacam-macam orang mengapresiasi rukuk. Seorang sufi bernama Rabi' ibn Haitham diceritakan pernah rukuk mulai tengah malam sampai Subuh dalam satu rukuk. Ia sangat menikmati indahnya rukuk.
Sebuah riwayat yang disandarkan kepada peristiwa Mi'raj Nabi Muhammad SAW, ketika sedang rukuk ia menyaksikan makam paling tinggi, yakni 'Arasy yang menakjubkan, lalu di dalam rukuknya ia mengucapkan, "Subhana Rabbiyal 'Adhim wa bihamdih" (Mahasuci Tuhan Yang Mahabesar dan segala pujian hanya untuk-Nya).
Tentu, ucapan ini dipahami betul saat melihat 'Arasy karena di tempat itulah ia menerima perintah shalat. Ketika bangkit dari rukuk melihat cahaya 'Arasy meliputi dirinya dan pada saat itu ia membaca "Sami'allahu liman hamida", kemudian ia tersungkur di dalam sujud di hadapan Tuhannya Yang Mahaagung.
(Baca Juga: Hakikat Rukuk)
Jika rukuk dilakukan dengan benar-benar, membersihkan diri dari berbagai sifat egois (ananiyyah) dan ketakjuban diri (inniyyah), kemudian menghilangkan berbagai imajinasi di dalam pikiran dan sepenuhnya kepasrahan diri memuncak kepada Allah SWT, maka keadaan inilah yang mengantarkan diri seseorang merasakan kefanaan jiwa (al-fana' al-nafs).
Hidayah dan petunjuk Allah SWT akan menunggu bagi siapa pun yang mencapai puncak kekhusyukan di dalam rukuk. Rukuk seperti inilah yang dijanjikan berbagai keberuntungan dari Allah SWT sebagaimana dalam sabdanya, "Hai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, sembahlah Tuhanmu, dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan". (QS al-Hajj [22]:77).
Dalam kitab-kitab lain dijelaskan, berdiri dalam shalat adalah simbol makam al-tauhid af'al, rukuk simbol makam al-tauhid al-shifah, sujud simbol makam al-tauhid al-dzati, dan duduk simbol makam al-tauhid al-asma'. Berhubung karena wilayah pembahasan keempat jenis tauhid ini sangat kompleks, maka akan dibahas tersendiri di dalam beberapa artikel mendatang.
Keempat jenis tauhid ini juga banyak dibahas oleh para teolog dan ulama kalam. Ketika orang sedang mencapai puncak kedekatan diri di dalam rukuk, maka pada saat itu ia akan melihat hanya satu, Dialah Yang Maha Esa. Ia Esa dalam perbuatan, sifat, nama, dan zat. Ia sudah mampu melihat segala sesuatu yang banyak itu sebagai hanya satu, pancaran dan tajalli-Nya Yang Maha Esa.
Orang-orang yang berada di dalam makam ketinggian (Qaus al-Su'udi), maka ia sudah menggunakan pandangan holistis (ijmali) sehingga ia menyaksikan hanya Satu (The Oneness/Wahidiyah) atau bahkan Yang Maha Satu (The One and Only/Ahadiyyah).
Sebaliknya, orang yang masih berada di makam bawah (al-nuzul), maka ia menggunakan pandangan secara mikro (tafshili) sehingga yang disaksikannya ialah beragam makhluk Tuhan (the manyness/al-katsrah). Tentu, kita berharap dan sekaligus kita memohon kepada Allah SWT agar hari demi hari pengalaman rukuk kita semakin membuahkan makna dan hakikat rukuk.