REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendongeng nasional asal Yogyakarta, Kak Bimo mengungkap ada perbedaan antara dongeng Islami dan tidak Islami. Perbedaan tersebut terletak kuat pada nilai-nilai yang ditanamkan.
Dongeng Islami memiliki ciri khas yang menonjol, misalnya menggunakan tokoh-tokoh berkarakter dan beratribut Islam. Selain itu, setting waktu yang digunakan umumnya menggunakan patokan waktu sembahyang, misalnya bakda Zhuhur, di waktu Subuh, dan sebagainya.
Penggunaan kalimat-kalimat tayyibah juga menjadi penanda dongeng-dongeng Islami. Yang paling penting, dongeng Islami tak melepaskan peran dan pertolongan Allah SWT dalam setiap kemenangan atau penyelesaian konflik.
Dalam memilih dongeng untuk anak, siswa, maupun santri, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pencerita. Syarat utama dongeng yang digunakan antara lain bersih dari unsur-unsur berbahaya atau toxic. Unsur horor, sadisme, dan pornografi merupakan beberapa contoh toxic dalam dongeng. Pencampuran sejarah dengan cerita rekaan juga dianggap sebagai salah satu unsur yang dapat mengaburkan atau mengacaukan realita sejarah.
Dalam berkisah, Kak Bimo mempunyai kurikulum tersendiri. Menurut dia, penggunaan kurikulum ini tergantung dari kebutuhan pendongeng. Namun, kurikulum penting untuk mengetahui output karakter atau akhlak seperti apa yang diharapkan muncul dari kegiatan mendongeng. Tanpa panduan kurikulum, kegiatan mendongeng dikhawatirkan hanya akan menjadi cerita tanpa makna.
Bagi Kak Bimo, mendongeng merupakan bentuk apresiasi dari Allah SWT atas peristiwa hidup manusia yang Dia abadikan dalam kitab-Nya. Manusia hendaknya meneruskan apa yang telah dikisahkan oleh Allah SWT. Dengan kisah-kisah itu pula, Nabi Muhammad SAW menyebarkan ajaran Islam yang dianut hingga sekarang.
"Jadi dengan berkisah bisa jadi sebuah upaya meneruskan misi kenabian," ujar Kak Bimo.