REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil tidak menyambut gembira dengan disahkannya UU Penyandang Disabilitas di parlemen, kemarin, Kamis (17/3).
Menurut Ketua Kelompok Kerja (Pokja) RUU Penyandang Disabilitas, Ariani Soekanwo, pesimisme itu beralasan lantaran beleid tersebut disahkan sambil mengabaikan petisi yang telah diajukan Koalisi Organisasi Disabilitas Nasional.
Dia menuturkan, meskipun disabilitas merupakan isu multisektor, pembahasan RUU tersebut tidak melalui panitia khusus (pansus) di parlemen, melainkan hanya sebatas panitia kerja (panja) di Komisi VII.
Sehingga, lanjut dia, pelbagai kementerian yang berkewajiban memenuhi hak penyandang disabilitas bisa merasa lepas tanggung jawab.
Akhirnya, kewajiban negara hanya diemban oleh Kementerian Sosial (Kemensos), yakni Direktorat ODK, sehingga UU ini tak menunjukkan kebaruan.
Urusan hak-hak warga penyandang disabilitas hanya sebatas mengenai rehabilitasi sosial, pemberdayaan, dan penanganan fakir miskin.
"Ketentuan yang mengatur perihal leading sector tunggal di bidang sosial tidak dihilangkan sebagaimana masukan dan hasil kajian dari Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas, tapi justru malah diperkuat keberadaannya," ujar Ariani Soekanwo dalam rilis yang diterima Republika Jumat (18/3).
"Dengan demikian, nasib penyandang disabilitas tidak akan banyak berubah," sambung dia.
Padahal, Badan Koordinasi Pengendalian Penyandang Cacat, yang berdiri sejak 1999 dan sudah dibubarkan Presiden Joko Widodo, menurut Ariani, punya rekam jejak yang buruk.
Badan itu tak pernah bersidang, ungkap dia. Demikian pula dengan tim UPKS PENCA (Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat) yang dibentuk sejak 1990.
"Menanggapi UU penyandang disabilitas baru, lagi-lagi organisasi penyandang disabilitas masih harus berjuang dari pintu ke pintu kepada setiap kementerian untuk mengadvokasi pemenuhan haknya," ujar Ariani.
Bagaimanapun, dia melanjutkan, keberadaan Komisi Nasional Disabilitas
(KND) nantinya, sebagai amanat UU Penyandang Disabilitas, masih menjanjikan harapan. Itu untuk memastikan terselenggaranya pembangunan yang mudah akses bagi partisipasi warga yang mengalami keterbatasan fisik.