REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) Nasrullah Larada mengatakan menghadapi integrasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sektor keuangan pada 2020 mendatang, dibutuhan sebuah bank syariah nasional berskala besar. Tujuannya agar Indonesia untuk mampu berkompetisi dan memberi manfaat yang signifikan bagi perekonomian nasional.
‘’Sayangnya, perkembangannya tidak sesuai harapan. Market share perbankan syariah hanya 3 - 4 persen di tengah mayoritas muslim Indonesia yang mencapai 85 persen. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi hambatan berkembangnya Perbankan Syariah. Aspek kebijakan publik pemerintah yang kurang mendukung, profesionalisme pengelola Perbankan Syariah dan perilaku masyarakat muslim itu sendiri,’’ kata Nasrullah, di Jakarta, Sabtu (19/3).
Menurut Nasrullah, pada saat ini pemerintah terlihat tidak terlalu serius untuk mengakomodir berkembanganya Perbankan Syariah. Batalnya rencana merger bank syariah beberapa waktu lalu menjadi salah satu buktinya.
‘’Ini berbeda dengan negara-negara lain yang sangat progresif. Seperti misalnya dengan Malaysia yang tidak hanya memberikan //tax holiday// dan riset, tetapi juga melibatkan Bank Syariah dalam mengelola anggaran belanja negara. Bahkan Iran hanya mentolerir berdirinya Bank Syariah, tidak ada Bank Konvensional,’’ ujarnya.
Atas dasar kondisi diatas, dalam rangka Rapat Kerja Pengurus Besar Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PB KB PII) di Jakarta pada tanggal 18-19 Maret 2016. PB KB PII mendesak agar pemerintah untuk segera membentuk Bank Syariah Indonesia sebagai bank jangkar milik negara dengan cara dan metode yang terbaik.
''Selain itu, PB KB PII mendesak pihak pemerintah dan DPR untuk membentuk komisioner bidang perbankan syariah pada Otoritas Jasa Keuangan,” tegas Nasrullah.