REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Bahaudin Mudhary boleh saja tak pernah lulus pendidikan formal meski sempat bersekolah di Kweek School Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1940. Dan, dari sinilah kemampuan bahasanya bermula dan semangat belajar autodidaknya menggelora.
Ia menguasai bahasa asing, antara lain, bahasa Arab, Jepang, Jerman, Prancis, dan Belanda. Modal ini cukup membantunya dalam mengakses berbagai versi Bibel.
Meski demikian, bakat dan bekal kecerdasannya itu warisan genetik dari sang ayah, KH Ahmad Sufhansa Mudhary. Bahaudin dikenal cerdas. Ia mampu memainkan hampir seluruh alat musik, mulai petik, gesek, tiup, sampai tutus piano.
Atas kelangkaan ilmunya itulah, ia berjuluk Tera Ta Ada mar yang dalam bahasa Madura berarti benderang tanpa pelita. Ini lantaran kedalaman ilmunya berpangkal pada ilmu hakikat yang berpusat di hati. (Baca: KH Bahaudin Mudhary, Pionir Kristologi di Indonesia)
Bahaudin tak hanya didaulat sebagai kristolog ulung. Ia dikenal pula piawai berorganisasi. Sejumlah jabatan penting pernah ia pegang. Pada 1947, ia dipercaya sebagai komandan Resimen Hizbullah, dua tahun kemudian men dirikan Yayasan Pesantren Sumenep, komandan Sudanco, ketua Muhammadiyah, ketua Masyumi Wedana di Bangkalan, serta ketua Perserikatan Muslim Tionghoa di Madura (sekarang PITI).
Berikutnya, pada 1954, ketua Muhammadiyah cabang Sumenep, kepala SMA Yayasan Pesantren, mengajar bahasa Jerman dan Prancis di SMA Sumenep sekira 1960-1965, serta dosen di IKIP Negeri.
Sepanjang hidupnya, Bahaudin hidup dalam kesederhanaan dan sangat bersahaja. Ia juga dikenal sangat humoris dengan petuah yang penuh warna "parigan" (sesemmon Madura).
Ada pesan menjelang akhir hayatnya yang hingga kini menjadi pegangan putra dan cucu-cucunya, "Jangan sesekali meninggalkan shalat, selalu rukun dan memelihara tali silaturahim, serta jangan berebut harta pusaka, usahakan setiap malam shalat lail(tahajud)."
Pada pengujung usianya, ia masih mengasuh Pesantren Kepanjin Sumenep dan menjabat kepala Kantor Departemen Agama Sumenep, ketua umum GUPPI Jawa Timur, ke tua MUI Jawa Timur, dan anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur.
Tepat 4 Desember 1979 di Surabaya, ulama dan pakar kristologi berdarah Madura ini meninggal dunia. Namanya pun mengabadi sekekal jasanya dalam membendung Kristenisasi.